Setahun lalu, saya buat tulisan tentang hari-hari wajib. Tahun ini ada hari-hari tidak lancar yang kerap terjadi. Sangat layak didokumentasikan dan dikenang.
Pernahkah saya menulis di sini bahwa saya membangun harga diri dari kecerdasan? Karena itulah tugas-tugas kantor yang semakin menggunung dan menantang tidak menggangu saya. Badan pasti letih, tetapi selagi saya melihat bahwa saya berfungsi dan berperan signifikan, saya tetap bisa mengambil kebanggaan dari sana. That makes me feel alive.
Hal yang menguji mental adalah berurusan dengan orang-orang yang kurang kompeten. Begitu pun, melakukan pekerjaan tetap kurang effort alias asal jadi. Double combo. Apa-apa harus dituntun, apa-apa harus diinstruksi mendetail, apa-apa harus di-reminder. Semoga tidak terkesan sombong, tapi satu-dua rekan kerja membuat saya berpikir, "apakah kita semua yang bekerja di sini pernah benar-benar sekolah???"
Beberapa pekerjaan datang last minute. Beberapa konfirmasi terkait pekerjaan pun seringnya muncul di detik-detik terakhir. Sering terjadi beberapa minggu belakangan, saya pontang-panting menyelesaikan urusan payment hanya beberapa jam sebelum waktu pulang karena harus maju ke finance checker besok paginya. Tapi siangnya dapat kabar kalau salah satu direksi yang harus tanda tangan di cek/giro sedang tidak ditempat. Rencana untuk beres 1 hari pun gagal total. Akhirnya saya lanjut naik kereta, balik ke kantor karena harus prepare berkas payment untuk maju lagi besoknya.
Perkara mengejar-ngejar orang-orang yang berkepentingan untuk tanda tangan ini juga tak kalah menguras emosi. Konfirmasi-konfirmasi terkait orang-orang ini saya dapatkan setetes demi setetes. Lagi-lagi last minute. Berulang kali saya mengingatkan agar bersabar dengan sekretaris/tim direksi yang dalam posisi "dibutuhkan". Saya akan lama sekali berurusan dengan mereka, jadi sangat penting untuk menjaga hubungan baik. Singkirkan dulu perasaan gondok itu!
Hari-hari tidak lancar yang bikin stres itu pun membuat saya terpikir untuk cuti. Healing. Seperti yang sudah-sudah, tiap kali kewalahan dengan pekerjaan, saya merasa perlu untuk pergi ratusan kilometer jauhnya dari tempat menjalani rutinitas.
Saya ingin pergi ke suatu tempat. Menanggalkan segala rutinitas
sejenak. Tapi kemana? Sudah masuk bulan Ramadhan; jelas bukan waktu yang
tepat untuk jalan-jalan. Lagipula saya muak sendirian. Solo traveling
bukan opsi yang menarik saat ini. Kalau hanya ingin sendirian, maka
lebih baik mendekam saja terus di rumah!
Akhirnya saya menetapkan pilihan untuk pulang kampung. Tanggal 6 Maret saya booking ticket pesawat untuk keberangkatan tanggal 10. Saya harus menghadapi mata-mata keheranan, saya tahu, tentang mengapa mudik sendirian? Urgensinya apa pulang kampung di awal Ramadhan? Biasanya saya memilih untuk skip situasi tersebut lantas pilih destinasi lain. Tapi, lagi-lagi, saya sedang muak sendirian. Tulisan terakhir di blog ini pun menyatakan bahwa saya sedang ketakutan harus menghadapi segala tantangan dunia sedirian.
Tapi barangkali hidup memang seperti itu; kepingan kejadian-kejadian yang sering kali tidak match satu sama lain alias di luar rencana. Penerbangan saya tiba-tiba dipindah ke penerbangan pagi-pagi sekali. Saya langsung putar otak, membuat simulasi transportasi menuju bandara. Tapi kemudian ada opsi untuk ganti jadwal ke penerbangan lebih siang. Tapi lagi-lagi, informasinya datang setetes demi setetes.
Lalu ketika hari H pun saya bekejaraan dengan waktu; untuk packing barang, menyempatkan diri beli oleh-oleh, menyiapkan makanan untuk dimakan di bandara. Maklum, H-1 keberangkatan pun saya masih harus ngantor sampai sore. Ah, H-2 pun saya pontang-panting menyelesaikan berbagai pekerjaan supaya setidaknya tidak banyak tanggungan selama cuti.
Saya tiba di Stasiun BNI City untuk naik kereta bandara pun mepet waktu. Sudah begitu, karena kecerobohan diri sendiri, tangkai koper sampai patah karena lupa saya turunkan sewaktu meletakkannya di bagasi koper. Walhasil, pada saat koper jatuh rebah, tangkainya pun patah. Sepanjang jalan untuk pindah terminal, saya terbungkuk-bungkuk menggiring koper. Huft.
Jadwal pesawat juga melenceng dari jadwal semula. Duh, saya baru ngeh maskapai saya masih satu grup dengan si singa. Iya, si maskapai yang terkenal hobi delay itu. Penerbangan saya pun delay satu jam.
Tiba di kampung halaman pun lagi-lagi menemukan situasi di luar rencana. Karena satu dan lain hal saya tidak bisa tidur di rumah Nenek, melainkan di rumah kakak mama saya yang nomor dua. Meski begitu, saya tetap membawa banyak hikmah baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar