Senin, 15 April 2024

Tentang Ibadah



Bismillah. Semoga tulisan ini tidak berujung menjadi sebuah penghakiman pada perbedaan cara-cara beribadah antara satu golongan dengan golongan lainnya. Semoga tulisan ini berakhir sebagaimana saya meniatkannya, yaitu sebagai catatan tentang bagaimana saya memaknai ibadah. Amin.


Tepat satu bulan lalu, saya naik pesawat, kembali ke rumah usai menghabiskan waktu sekitar 5 hari di kampung halaman. Sebuah kunjungan singkat yang bertepatan dengan awal Ramadhan. Mengikuti masyarakat di sana saya mulai berpuasa di tanggal 11 Maret 2024. Karena itu, sekalipun misalkan Pemerintah memutuskan Idul Fitri jatuh di tanggal 11 April 2024, saya tetap harus sudah berlebaran di tanggal 10 April 2024.

Kampung halaman saya itu memang basisnya ormas Muhammadiyah. Itu tuh, ormas yang suka puasa dan lebaran duluan. Hehehe.

Dulu waktu kecil, saya sempat juga ber-Ramadhan di kampung halaman. Dan apa yang masih membekas tentang momen itu adalah saat-saat sholat tarawih di surau; jalan kaki dari rumah berbekal senter karena jalanan gelap, berwudhu dengan air bak, dan betapa lamanya durasi sholat padahal rakaatnya cuma delapan! Sudah begitu, masih lanjut tadarus Al-Quran pula sampai malam!    

Tahun ini, saya sholat tarawih di masjid raya nagari. Dan saya suka segala sesuatu tentang beribadah di sana. Saya suka bangunan masjidnya yang efektif ruang; berbentuk segiempat dengan ceiling plafon yang tinggi. Saya suka pencahayaan masjidnya yang terang dan bagaimana mikrofon selalu dalam keadaan stabil. Saya suka masjidnya agak jauh dari jalanan hingga bebas bising kendaraan yang lewat. Saya suka bagaimana anak-anak bermain dan bercanda di luar mesjid selagi ada yang sholat di dalam.

Saya mengkorelasikan sholat sebagai sesuatu yang tenang, lambat, syahdu dan khidmat. Dan mesjid raya ini mengimplementasikan gagasan di kepala saya itu dengan sangat sesuai. Saya suka bagaimana saya bisa membaca doa dengan perlahan. Saya suka bagaimana saya bisa ganti gerakan dengan lambat. Saya suka menoleh salam kanan-kiri setelah imam menyelesaikan keduanya. Saya suka bagaimana saya tidak tergesa menyelesaikan bacaan Al-Fatihah atau cepat-cepat membaca doa sujud karena khawatir imam sudah ganti gerakan. Saya menyukai bacaan surah seusai Al-Fatihah tidak terlalu panjang atau terlalu pendek.

Pertengahan.

Saya suka bagaimana makmum perempuan tidak mengeraskan ucapan 'amiiiin'. Saya suka bagaimana pemberitahuan mulainya sholat witir hanya sesederhana imam berkata, "witir". Saya suka bagaimana selesai sholat, para makmum bisa lanjut berdoa secara personal kepada Sang Pencipta tanpa dipimpin. Sesuai dengan bagaimana saya memaknai doa sebagai sesuatu yang intim dan spesifik.

 


 

Saya suka bagaimana mesjid ini memberi batas makmum laki-laki dan perempuan tepat separo di tengah ruangan. Oh, malah sepertinya shaf perempuan lebih besar, yang saya pikir karena di kampung saya ini sepertinya memang lebih banyak ibu-ibu daripada bapak-bapak. Saya suka bagaimana kain pembatas shaf digulung ke atas saat sesi ceramah dimulai. Saya memaknainya sebagai kesetaraan dalam menuntut ilmu; laki-laki dan perempuan pantas mendengar materi agama. Saya suka bagaimana mesjid ini menjadi tempat yang nyaman untuk perempuan beribadah selain di rumah sendiri.

Saya suka bagaimana orang-orang pergi ke mesjid untuk sholat fardhu; implementasi bahwa hidup hanya perkara menunggu waktu sholat. 

Saya suka hal-hal yang mengutamakan esensi seperti ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar