Sabtu malam tanggal 18 April 2015, sambil menunggu laga Chelsea kontra Manchester United tayang di TV, saya iseng buka dashbor blogger di netbuk. Dan alangkah kagetnya saya saat melihat statistik penayangan hari ini mencapai angka di atas 150! Wow, ada apa ini?
Sungguh di luar dugaan. Awalnya saya sempat berpikir blog saya error. Maka saya pun me-log out lalu masuk lagi ke dashbor. Dan bukannya menunjukan angka yang "normal", grafik penayangan hari ini malah makin melesat tajam ke atas. Saya betul-betul terhenyak. Lebih jauh, saya tidak percaya. Barulah ketika esok harinya saat saya membuka lagi dashbor blogger dan menemukan sebuah komentar masuk di salah satu postingan, saya percaya ini betulan. Jadi memang benar, "kegilaan" ini terjadi.
Tapi, masih di luar dugaan, postingan saya yang belakangan banyak dibuka itu ternyata postingan tahun lalu, berisi uneg-uneg saya setelah baca pdf novel teenlit Jingga dan Senja hasil unggahan di internet. Saya makin... oh, wow!
Jadi begini, blog saya ini mungkin tidak megindahkan SEO atau apapun yang merupakan upaya supaya Google ramah menjamah. Isinya pun bukan hal-hal informatif yang banyak dicari orang via internet, dengan pengecualian beberapa tulisan tentang kegiatan jalan-jalan saya yang mungkin bisa sedikit dijadikan referensi. Isi blog ini, seperti yang tertulis sebagai "kop" adalah sebuah jurnal. Isinya tentang pengalaman, opini dan hal-hal yang saya kreasikan. Saya mengategorikan masing-masing tulisan dalam 3 label: I see, I feel, I create. Saya memang menulis apa yang saya ingin tulis, bukan apa yang orang butuh. Sejauh ini, membuat blog yang berisi hal-hal informatif baru sebatas wacana bagi saya.
Tapi, bukan berarti saya nggak kepingin buah pikiran saya dibaca banyak orang. Saya jelas kepingin sekali apa yang saya bagi bisa mengena di hati orang lain. Mungkin bukan karena apa yang saya tulis mengandung apa yang orang butuhkan, tapi sekedar karena merasa sehati atau memiliki pengalaman yang sama dengan saya atau alasan-alasan pribadi lainnya. Sebagai upaya orang-orang agar mampir ke blog saya (bukan sekedar secara random terdampar), saya dua kali mempublikasikan tulisan-tulisan saya ke portal online yang memang banyak dikunjungi dan memberi link ke blog ini. Tulisan-tulisan saya itu dimuat di Hipwee.com (Begini Nih Jadinya Kalau Ada Apa Dengan Cinta Diproduksi di Tahun 2014!) dan di Kompasiana.com (Kepada Kepala Negara yang Tidak Membaca Apa yang Ia Tandatangani). Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, ide menulisnya datang lebih dulu ketimbang keinginan agar lebih banyak yang mampir ke blog ini. Jadi tetap saja, persinggahan orang untuk mampir ke blog ini melalui tautan yang saya sematkan lebih menjadi kompensasi tambahan yang menyenangkan untuk saya.
Maka dari itu, adalah hal yang menyenangkan kala melihat ada angka 7 atau 10 di statistik kunjungan hari ini di dashbor blogger. Walau saya belum betul-betul yakin, apakah angka tersebut menunjukkan blog saya memang sudah dibuka seseorang atau baru muncul di penelusuran Google.
Jadi tanggal 18 malam itu benar-benar sebuah surprised buat saya. Awalnya, saat saya buka blogger, saya mengharapkan akan ada kunjungan hari ini yang sumber lalu lintasnya adalah gmail. Soalnya beberapa hari lalu saya baru aja mengirimkan surat lamaran kerja untuk posisi News Feeder dan saya menyematkan link ke blog saya ini. Tapi kejadiannya ternyata lain.
Sampai hari ini, terus terang, saya masih penasaran dari mana "kehebohan" ini berawal? Bagaimana awalnya? Saya benar-benar ingin tahu dan berharap ada yang mau berbagi informasi.
Saya cuma bisa mendeduksi dari beberapa fakta yang punya. Saya menduga seseorang dari milis atau komunitas pembaca buku Esti Kinasih membagikan tulisan saya di lingkaran mereka. Karena kalau cuma dari individu yang iseng men-share ke salah satu akun medsosnya, dampaknya kemungkinan nggak akan seheboh ini. Ambil contoh kita sendiri yang men-share sebuah link berita di Facebook. Teman-teman kita di medsos itu belum pasti membuka link tersebut karena ketertarikan tiap-tiap orang akan sebuah topik berita itu berbeda-beda. Jadi, saya menduga, tulisan saya itu di-share di antara sesama pembaca buku Mbak Esti. Hanya penggemar Mbak Esti, saya kira, yang akan tertarik untuk membuka sebuah tautan postingan blog berjudul Jingga dan Senja : Sebuah Mosi Tidak Percaya.
Seseorang, maukah kamu memberitahu saya?
Seperti yang bisa pembaca tangkap dari postingan saya soal teenlit Mbak Esti, saat itu saya memang merasa kesal dan nggak puas. Saya punya ekspetasi ceritanya bakal bagus, sebagaimana banyak ditulis orang-orang yang sudah membacanya. Kalaupun ceritanya tidak “sebagus” itu, tapi cukup mengalir dan enak dibaca, sebetulnya, itu pun sudah sudah cukup untuk saya. Tapi, bagi saya pribadi, harapan mendapatkan cerita yang cukup enak dibaca pun tidak terpenuhi sewaktu membaca Jingga dan Senja. Alih-alih terhibur, saya malah dibuat mengernyit dengan adegan-adegan bombastis nan mustahil-mustajab-mustopa-terjadi-di-dunia-nyata.
Itu adalah pendapat saya dan nggak seorang pun harus sepaham. Seorang komentator memberi masukan kepada saya agar saya menutup unggahan pdf saya kalau memang nggak suka ceritanya, jadi saya nggak perlu capek-capek ngomentarin karya orang lain dan menuliskannya dalam sebuah postingan blog. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada sang komentator, harus saya katakan, menurut saya tiap-tiap orang akan beropini setelah bersentuhan dengan sesuatu atau seseorang, even opininya itu cuma “lumayan” atau “biasa”. Itu juga sebuah opini. Bedanya, ada yang menyimpan opininya itu untuk dirinya sendiri, tapi ada juga yang menuliskannya/menyebarkannya. Dalam kasus Jingga dan Senja, saya adalah tipe yang terakhir. Dan karena postingan saya itu bukan berisi fitnah atau perbuatan melanggar hukum lainnya, maka bagi saya nggak perlu dipermasalahkan.
Mungkin banyak yang berpikir saya menginginkan sebuah cerita yang realistis dan sesuai dengan dunia nyata. Itu benar. Tapi dalam artian, cerita yang berlogika. Oke, si Matahari Senja produk broken home. Dan dia melampiaskan amarahnya di luar rumah, oke. BEBERAPA orang yang punya pengalaman pahit di rumah suka berbuat onar sebagai ajang cari perhatian. Si Ari suka tawuran dan menggencet adik kelas? Oke. Bukan nggak mungkin terjadi. Tapi, tunggu, seberapa jauh kenakalannya? Kalau keseringan ngamuk-ngamuk di sekolah hanya demi mendekati seorang cewek dan ditambah lagi nggak seorang pun, bahkan seorang guru, mampu menghentikan kegilaannya itu−apakah mungkin? Bagi saya, sekali lagi, bagi saya, itu nggak mungkin. Nggak logis.
Saya menuntut cerita yang saya baca punya sebab-akibat yang jelas, punya interaksi antar tokoh yang masuk akal sesuai dengan karakter dan logis. Jadi bukan berarti saya akan bilang, "Ah, mana ada sapu bisa terbang," sewaktu membaca adegan seorang nenek sihir naik sapu untuk berpindah tempat. Bukan itu poinnya. Dan saya nggak anti dengan cerita khayalan semacam itu.
Ambil contoh waktu saya kuliah dulu. Pada salah satu semester, ada ajang kompetisi film pendek tahunan antar cabang kampus. Temen saya yang kebagian job desk script writer membuat naskah tentang seorang cewek tuna wicara yang diperkosa oleh seorang penjahat. Cewek ini lantas hamil. Dia merasa sangat merana, apalagi saat tahu sahabat cowoknya yang dicintainya diam-diam ternyata sudah punya kekasih. Pada akhirnya cewek ini memutuskan untuk bunuh diri sesaat setelah melahirkan anaknya ke dunia. Bayi merahnya lantas diserahkan ke cowok taksirannya. Saat itu saya mengajukan pandangan ke temen saya si penulis naskah. Saya bilang kalau cewek ini memang berniat bunuh diri, dia akan melakukannya saat masih hamil supaya dia dan anaknya di dalam kandungan sama-sama mati. Karena kalau dia memutuskan untuk melahirkan anaknya, rasa keibuannya akan timbul dan semenderita apapun dia, bayinya akan menjadi penyemangatnya untuk hidup. Cewek ini tentunya khawatir akan nasib anaknya kalau dirinya mati, bagaimana hidup anak ini, siapa yang akan merawatnya? Cewek ini tertimpa masalah berat, benar, tapi nggak ada petunjuk kalau dia akhirnya mengalami gangguan jiwa, yang memungkinkan seseorang berbuat di luar kewajaran, semisal bunuh diri setelah melahirkan.
Ambil contoh waktu saya kuliah dulu. Pada salah satu semester, ada ajang kompetisi film pendek tahunan antar cabang kampus. Temen saya yang kebagian job desk script writer membuat naskah tentang seorang cewek tuna wicara yang diperkosa oleh seorang penjahat. Cewek ini lantas hamil. Dia merasa sangat merana, apalagi saat tahu sahabat cowoknya yang dicintainya diam-diam ternyata sudah punya kekasih. Pada akhirnya cewek ini memutuskan untuk bunuh diri sesaat setelah melahirkan anaknya ke dunia. Bayi merahnya lantas diserahkan ke cowok taksirannya. Saat itu saya mengajukan pandangan ke temen saya si penulis naskah. Saya bilang kalau cewek ini memang berniat bunuh diri, dia akan melakukannya saat masih hamil supaya dia dan anaknya di dalam kandungan sama-sama mati. Karena kalau dia memutuskan untuk melahirkan anaknya, rasa keibuannya akan timbul dan semenderita apapun dia, bayinya akan menjadi penyemangatnya untuk hidup. Cewek ini tentunya khawatir akan nasib anaknya kalau dirinya mati, bagaimana hidup anak ini, siapa yang akan merawatnya? Cewek ini tertimpa masalah berat, benar, tapi nggak ada petunjuk kalau dia akhirnya mengalami gangguan jiwa, yang memungkinkan seseorang berbuat di luar kewajaran, semisal bunuh diri setelah melahirkan.
Sekali lagi, itu adalah pandangan saya. Dan, sekali lagi, tidak ada keharusan siapapun satu suara dengan saya.
Pada akhirnya, komen itu gampang, bikin novel yang sulit. Hahaha. Saya setuju banget. Memang mengomentari karya orang itu gampang banget. Menjelek-jelekan sebuah karya juga mudah aja. Padahal diri sendiri nggak bisa bikin karya apapun. Menulis novel (yang bagus) itu memang bukan pekerjaan mudah. Saya sendiri saat mulai menulis sebuah fiksi, harus selalu mengingatkan diri sendiri bahwa saya nggak bisa semau-maunya bercerita. Harus tetep logis supaya pembaca enak bacanya.
Tapi, jangan salah paham, biarpun kita belum bisa menghasilkan sebuah novel, bukan secara otomatis kita dilarang mengeluarkan pendapat. Apa jadinya kalau begitu? Dalam peraturan yang sama, berarti nanti setelah nonton film, kita juga nggak boleh bilang filmnya buruk karena memang kita merasa begitu, karena toh sebiji film buruk pun belum pernah kita hasilkan. Dan kalau peraturannya begitu tentunya orang-orang akan memilih untuk tidak menonton sebuah film, daripada nonton tapi dilarang berkomentar. Ujung-ujungnya industri perfilman pun akan runtuh.
Berpendapat itu nggak salah, selama masih relevan dengan topik dan disertai alasan yang nyata serta masuk akal.
Eh, itu, lagi-lagi, pendapat saya ya. Hehehe.
Dalam situs Goodreads, para pembaca boleh berpendapat apa saja mengenai sebuah buku, tentunya dengan tidak menyinggung SARA atau pelanggaran hukum lainnya. Semua pembaca boleh berpendapat. Kadang-kadang kita dibuat syok bahwa sebuah buku yang menurut kita nyaris sempurna malah "dibanting" abis-abisan oleh seorang reviewer. Selera tiap orang memang berbeda. Dan pengalaman yang dialami seseorang semasa hidupnya akan mempengaruhinya dalam memandang sesuatu, termasuk dalam menilai sebuah bacaan. Dan apakah kita lantas marah pada orang itu karena berbeda pendapat? Selama Indonesia masih menganut sistem demokrasi dan belum berganti haluan dengan mengekor sistem negara Korea Utara, jawabannya adalah TIDAK. Tapi, lagi-lagi, kita nggak harus sependapat dengan orang itu. Kita boleh punya pendapat sendiri dan juga berhak tetap berpendirian pada pendapat itu.
Akhir kata, saya ingin berterimakasih kepada semua orang yang sudah membaca postingan saya di blog ini. Terlebih kepada yang meninggalkan jejak berupa komentar. Terlepas dari setuju tidaknya kalian atas pendapat saya, serius deh, you made my day! Soalnya baru kali ini postingan saya ada yang ngomentarin. Hehehe.
Mengulang kalimat dari seorang reviewer di Goodreads, I’m allowed to have my opinion as a reader, nobody needs to get angry.
Have a nice day, all!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar