Senin, 18 September 2017

Gue dan Hallyu... (Part 2 : Kpop)




Beberapa minggu sebelum ke Bali, entah dapet ilham dari mana, gue mulai browsing soal Lalisa Manoban. Ujung-ujungnya gue menonton semua MV Blackpink di Youtube. Bahkan waktu di Seruni Guest House yang Wifi-nya kenceng gila, gue mengulang-ulang nonton MV Blackpink dan video versi tarinya. Bombayah, Whistle, As If It Your Last, Playing With Fire dan Stay—gue ulang-ulang terus. Begitu juga dengan versi live dan video-video personal membernya. Lucunya, setelah balik dari Bali sampe sekarang, gue udah nggak pernah nonton video apapun dari mereka. Udah nggak terlalu minat lagi. Mungkin nanti kalau mereka ngeluarin lagu baru, gue tonton lagi. Mungkin.


Selanjut-selanjutnya gue nonton SNSD, buntut dari kesukaan gue akan lagu Fine-nya Taeyeon. Dulu gue suka MV mereka yang The Boys. Suka sama visual dan koreografinya. Gara-gara Fine, gue mulai nontonin video SNSD yang lain, seperti Gee, I Got A Boy dan Catch Me If You Can. Gue secara ajaib mulai bisa membedakan membernya dan mulai mencari tahu soal keluarnya Jessica Jung di tahun 2014. 



SNSD OT9


Temen seperjalanan gue ke Bali merekomendasikan buat dengerin Mamamoo karena katanya suara mereka bagus-bagus. Gue kurang berminat untuk eksplor lebih banyak soal Kpop. Nonton Blackpink dan beberapa MV SNSD udah cukup lah. Tapi, ya, sekarang gue mendengarkan Mamamoo. Untuk grup satu ini gue rencanakan dibikin postingan tersendiri.

Kembali ke soal Hallyu, musik pop Korea alias Kpop adalah salah satu prajuritnya. Gue nggak anti, tapi juga nggak minat mengorek lebih jauh. Gue dengerin lagu Sorry Sorry dan Mr. Simple-nya Suju—lalu berpikir enaknya jadi member yang gempal karena nggak harus diet keras kayak member yang lain, hahahaha. Gue juga suka sama MV 2NE1 yang Falling in Love dan I am The Best, serta punya MP3 lagu Lonely dan I Love You. Bagi gue, 2NE1 layak didengar suaranya tanpa perlu melihat visualnya.


2ne1


Musik pop Korea yang sekarang lagi trend adalah sebuah kenikmatan audio visual. Karena yang mereka jual bukan semata musik, tapi juga performance. Gue bukan orang yang berpikir penyanyi itu mesti bisa hit the high notes. Dan menurut gue, Kpop adalah soal performance. Mereka semua menari, tapi apakah semua dari mereka bisa menyanyi? Belum tentu. Dan itu bukan masalah. Dari dulu toh persoalan klasik mengenai grup beristilah boyband dan girlband adalah nggak semuanya bisa bernyanyi. Tengok aja Boyzone, N’Sync, Westlife, Spice Girls dan 98 Degrees—cuma satu, dua anggota yang bener-bener tau cara bernyanyi. Selebihnya? Pelengkap aja. Dan dari dulu musik para boy and girlband itu selalu diasumsikan sebagai musik pop murahan. Musik yang asal easy listening, bertema naksir-naksiran bodoh dan dengan lirik-lirik cheesy. Musik yang pokoke bisa bikin abege menjerit histeris lah. 



Boyband Era

Pada dasarnya gue bukanlah Kpop fans dan karenanya mengakui tidak memiliki referensi yang cukup untuk menulis soal Hallyu. Karena itu gue tekankan sekali lagi tulisan gue ini lebih sebagai pendapat dari seorang pecinta musik, meski tidak khusus mencintai Kpop. Ini adalah tulisan sotoy gue aja. Hahaha. Sampe hari ini gue cuma nonton MV Blackpink, 2NE1, SNSD dan Mamamoo. Gue pernah nonton MV Red Velvet yang Ice Cream dan beberapa hari lalu mencoba menyimak F(X). Grup terakhir yang gue sebut sukses gue skip di permulaan video—tidak cukup menarik untuk ditonton dengan kuota milik sendiri yang terbatas, hehehehe. Gue juga pernah men-skip MV GFriend, Twice dan Red Velvet yang Russian Roulet. Yang gue tonton memang cuma girlband, sementara boyband-nya—kecuali dua lagu Suju yang gue sebut sebelumnya—belum menggugah minat gue. Maafkan, tapi gue sungguh belum cukup kuat mental dan mungkin akan mengerutkan kening melihat segerombolan laki-laki menari dengan wajah mereka didandani lengkap sampai cantik. Masa-masa ketika gue histeris melihat pretty boys joget-joget udah berlalu.

Begitu banyak grup dengan format boyband/girlband di Korea sampai mungkin kita akan berpikir, ini industri musik mereka diisi beginian semua? Maksudnya, apa nggak ada band rock yang pegang instrument musik? Band indie?

Gue tahu, musik sekarang ini merupakan industri. Penampilan di atas panggung kadang kala jauh lebih penting ketimbang skill bernyanyi para artisnya. Ngapain pusing? Sekarang bisa lipsync, ada auto tune pula yang bisa dimanfaatkan. Sebagai penonton, seringnya gue juga sebodo amat soal persoalan teknis di belakang panggung. Sing penting enak didenger—habis perkara! Dan ini agaknya yang diamini para industrialis Kpop. Musik mereka adalah soal penampilan, sebuah kenikmatan audio visual.




Tapi jauh di dalam hati, gue menghargai tinggi para musisi, yang menyanyikan lagu ciptaan mereka sendiri, dan karenanya nggak cukup punya alasan untuk menyimak lebih banyak Kpop. Kalau kata blog ini, Kpop seperti Pop Mie, yang diproduksi besar-besaran oleh perusahaan raksasa untuk dinikmati untuk kemudian hanya menjadi kotoran—karena nggak ada nutrisi yang cukup berharga di dalamnya bagi tubuh manusia. Ada banyak contoh girlband Korea yang bikin gue mengerutkan kening karena mereka mengeluarkan suara mencicit yang ‘belom mateng’ yang untuk level ‘cukup layak didenger’ pun nggak masuk. Apa-apaan! Keterlaluan.

Dari yang gue pahami, jadi sistem dari grup mereka begini: para anggota ikut audisi sejak mereka remaja atau bahkan anak-anak, kalau lolos bakal di-training selama bertahun-tahun, nggak ada yang tahu pasti berapa lama, bahkan juga nggak diketahui apakah mereka bisa debut sebagai artis atau nggak. Lalu ketika agensi memulai sebuah proyek idol (girlband atau boyband) beberapa orang akan digabungkan dalam satu grup, faktor penentunya bisa karena kedekatan member, kebutuhan karakter dan lain sebagainya. Lalu mereka digodok lagi buat mempelajari koreo dan rekaman lagu. Pada waktu yang ditentukan mereka bakal debut dengan tampil di acara musik televisi. Kalau sukses mereka diharapkan sering-sering bikin mini album dan full album. Ini belum termasuk single terpisah untuk keperluan iklan, soundtrack drama maupun kolaborasi.

Salah satu faktor yang bikin gue udah nggak nonton lagi apapun mengenai Blackpink, setelah sebelumnya ngulang-ngulang terus adalah karena ya udah, penampilan mereka pasti begitu. Lagunya begitu, koreonya begitu—semua sama, baik di MV maupun live. Yang membedakan cuma kostum mereka yang berganti-ganti—dan mungkin juga warna rambut. Para idol ini bahkan punya kebiasaan memakai lagi kostum di video untuk pentas di atas panggung. Gue berpikir mungkin inilah sebabnya para idol di Korea begitu sering mengeluarkan lagu baru, karena sebuah lagu, dengan penampilan yang konstan sama, cuma akan enak dinikmati beberapa bulan bahkan minggu. Mereka mesti terus berproduksi demi menjaga fans dan kelangsungan karier. Penyanyi yang tiap penampilan cuma standing di belakang mikrofon pun mungkin bisa dinikmati dalam jangka waktu yang lebih lama daripada itu—selama dia berimprovisasi dan suaranya empuk, tentu aja.


Blackpink


Terutama dari agensi besar di Korea, keteraturan penampilan adalah mutlak. Koreonya udah saklek, pembagian line menyanyinya juga udah ngepas. Nggak ada ruang lagi untuk bersikap spontan, menyapa penonton atau bermain-main dengan teknik vokal. Yeah, gimana mungkin, beberapa grup bahkan kesulitan terdengar sama dengan rekaman mereka. Penyebabnya nggak lain karena kualitas dan teknik vokal yang minim. Semuanya bermain di area aman.

Maafkan sekali lagi, tapi kadang-kadang gue tidak bisa menahan diri untuk tidak memutar bola mata tiap ada pembicaran soal konsep pada satu grup. Konsep apa sih yang dimaksud? Lagu mereka semuanya bisa dipakai nge-dance, berada di seputaran RnB dan hiphop, menghentak-hentak, dengan beberapa patah lirik berbahasa Inggris generik—umumnya dibagian chorus—dan ada banyak sekali pengulangan ‘oh oh oh’, ‘ah iyaa ah iya’, ‘na na na’, ‘o e o e o’, ‘yeah yeah yeah’ dan ‘woo woo’. Tiap lagu pasti ada part nge-rap. Membernya paling sedikit empat, semuanya menari, cantik-ganteng, mulus, yang perempuan berbibir ombre, berambut panjang diwarnai dan sangat kurus. Yang cewek, nggak terkecuali grup mana pun, pasti pernah memakai rok tenis putih, hot pants, dress pendek, stoking jala-jala, leg suspender, bot di atas dengkul dan seragam anak sekolahan. Mereka memulai debut dengan image imut-imut dan berubah seksi seiring pertambahan usia membernya—dan persaingan yang menuntut lebih banyak penampakan kulit. Musik videonya? Dimulai dari shot keseluruhan member yang sedang pose, lalu berlanjut montase member satu per satu dalam jarak dekat, dengan tiap orang menatap kamera dan membuka bibir sedikit dengan maksud mengundang—berusaha untuk tampil semupeng mungkin.



School Uniform Kpop Girl Groups


Serius nih, konsep apa yang dimaksud? Semuanya generik. They all are same, generic, usual and predictable. Mereka sama karena dihasilkan dari sistem pabrikan yakni agensi. Udah ada cetakannya. 

Dengan segala kekurangan dari segi musikalitas itulah, mungkin, kenapa kita menemukan banyak artikel tentang urutan member tercantik/terganteng, tertinggi/terpendek dan hal-hal lain yang tidak relevan saat kita membicarakan sebuah grup musik. Tapi, seperti pengistilahan mereka sendiri, they are idols, it means performers, entertainers, instead musicians. Well, apa lagi yang bisa dibahas dari Pop Mie? Pop Mie ya begitu; praktis, gampang dicerna, citarasa predictable. Kita nggak akan mungkin bisa bilang, “Oh, wow, kencurnya berasa,” seperti ketika mencicipi seblak dengan komposisi bumbu yang diracik di dapur sendiri. Kita nggak bisa mengharapkan sensasi mengejutkan dari Kpop. Just no!

Tapi bagaimanapun Kpop sudah menjadi virus yang mewabah di mana-mana, termasuk Indonesia. Ada banyak fans garis keras Kpop di Indonesia. Tapi nggak sedikit pula yang jijay setengah mampus dan mengatai fansnya alay. Dan sering kali bukan musik Kpop-nya yang dinyinyirin tapi lebih kepada bagaimana para perilaku fansnya. Bagi fans Kpop pasti paham banget apa arti bias, ultimate bias, fandom, sasaeng, fansite dan seabrek istilah yang merujuk pada dunia gemar-menggemari ini. Barangkali fans musik Kpop di Korea adalah fans yang paling obsesif di dunia. Dengan kesenjangan budaya antara Korea dan Indonesia, gue menemukan bagian dari Kpop inilah yang membuat gue teramat sangat tidak sreg: pemujaan selebriti. Para fans merasa nggak cukup hanya membeli CD dan merchandise, nonton setiap pertunjukan sang idola dan mendaftar di fandom resmi, tetapi bisa sampai ke taraf membuntuti idolanya. Memang nggak semua begitu, tapi level pemujaan mereka terhadap idolanya memang tinggi banget, kan di Korea sana? Maka dari itu kita sering menemukan pujian-pujian ‘goddess’, ‘angle voice’, ‘queens’, ‘perfect’, ‘body goal’, dsb, dst, sementara yang anti fans nggak ragu-ragu melontarkan ejekan ‘ugly’, ‘ugliest’, ‘plastic doll’. Nggak bisa apaahhh kita menilai mereka dari karya alih-alih dari tubuh; lagu bagus dengerin, album keren dibeli, besok-besok karyanya turun kualitas yaa tinggalin. Bukankah begitu adil?



Only Kpop Fans Can Relate


Ada sebuah komen di video youtube yang isinya kira-kira begini, “kenapa sih panitia Blue Dragon Awards (acara penghargaan insan perfilman Korea) maksain nampilin grup idol Kpop buat ngisi acara, kenapa nggak ngundang musisi yang lagunya terkait di film? Itu kan sama aja ngundang Justin Bieber buat tampil di acara Oscar.” Hihihi. Pas baca komen itu, gue langsung… oh, iya yak, kayaknya di mana-mana budaya populer selalu dianggap hip, ramai, sesak, seru tapi kurang dari segi kualitas. (Tapi soal JB, gue nggak setuju ah, dia mah sekarang udah cool, hihihi). Coba denger lagu-lagu soundtrack drama Korea; beda kan sama umumnya Kpop? Mellow, penuh penghayatan dan bisa bikin ikutan sedih biarpun kita nggak ngerti isi liriknya apaan. Coba aja denger OST-nya Winter Sonata atau Endless Love—apa nggak bikin baper tuh? Penyanyinya juga bersuara merdu dan dalam. Nah, pas denger Kpop, langsung drop rasanya. Apalagi kalau denger lagu-lagu girl group yang sok imut. Astaga!

Dalam artikel 'Factory Girls' yang dipublikasikan di New Yorker, John Seabrook menulis,

Tapi setelah Girls’ Generation meninggalkan panggung, konser terhenti sebentar, dan saya menemukan diri saya bertanya-tanya mengapa musik pop derivatif dengan produksi berlebihan, yang dilakukan oleh penyanyi lapis kedua, akan menarik bagi khalayak Amerika, yang bisa mendengar penampil-penampil yang lebih baik melakukan materi asli yang tepat di sini di kampung halamannya sendiri? Meski dengan usaha keras Girls’ Generation sekalipun, mitos penggabungan Timur dan Barat tetap sulit dipahami.

Penyanyi lapis kedua. Nggak sepenuhnya salah. Dengan industri padat karya begitu, kuantitas lebih penting ketimbang kualitas. Sekali lagi, ada banyak contoh girlband (and boyband too) Korea yang debut dengan lebih mengandalkan penampilan ketimbang kualitas menyanyi; otomatis mengonfirmasi penilaian Seabrook. Fans di Korea sana pun mungkin frustasi memiliki penyanyi yang tak menyanyi alias sering kedapatan lipsync. Hehehe.

Tapi bagaimana pun, Kpop sudah menjadi fenomena di mana-mana. Mereka seakan punya resep khusus supaya bisa diterima di seluruh dunia, at least di Asia Timur dan Asia Tenggara. Dengan bahasa yang asing di telinga dan bahkan sulit diucapkan meskipun sudah di-Romanized (pengalaman pribadi gagal karaoke lagu Fine-nya Taeyeon gara-gara nggak bisa ngikutin cara baca bahasa Korea), gimana bisa Kpop disukai fans di luar Korea? They must be have something. Tentu. Para pelaku di belakang layar tahu betul bentuk hiburan seperti apa yang menjual. Musik yang ear catching, penampilan yang eye catching dan koreo tari yang sistematis. Mungkin tidak akan menjadi musik yang hidup di sepanjang hayat kita, tapi bisa mewarnai dan menghibur. Why Not?



Wait for Part 3



Tidak ada komentar:

Posting Komentar