Naneun aniya. It's not fine... ah iya.. ah iyaaa... it's not fine... Nyaris sepuluh hari setelah acara Countdown Asian Games 2017 (CAG) digelar di lapangan Monas dengan special performances dua anggota SNSD, Taeyeon dan Hyoyeon, chorus lagu hits dari leader SNSD itu gue senandungkan di mana-mana, setiap hari, sementara MP3 lagunya gue puter lagi dan lagi sampe-sampe kalau seandainya si Taeyeon nyanyi live buat gue, dia udah pasti terpaksa dipasangin selusin infus. Hahahaha.
Lewat sedikit drama, dengan viralnya ibu-ibu yang mengira pemerintah kehilangan keindonesiaannya karena justru
mengundang artis luar sebagai penyemarak hari kemerdekaan, plus yang diundang
artis 'cabul' pula, dan insiden jatuhnya Taeyeon gara-gara didorong fans di
bandara, acara CAG sukses juga digelar. Acara yang turut dimeriahkan artis
lokal seperti Raisa, Tulus dan Judika, plus diadakan langsung dari dua kota
yaitu Jakarta dan Palembang ini free alias nggak bayar tiket masuk. Bahkan
waktu gue ke Bali, seorang temen gue yang suka Kpop udah ngasih tahu acara ini.
Reaksi gue, "Yang bayar aja rame, apalagi gretongan? Makasih dah."
Dan bahkan kalau bukan karena TV di rumah nyetel Metro TV, gue juga mungkin
nggak bakal nonton siarannya.
Hyoyeon tampil lebih dulu. Membawakan dua
single "Mystery" dan "Wannabe", Hyo tampil full dance.
Lagunya enak, suaranya cukup layak didenger, walau entah lipsync atau nggak.
Sementara itu Taeyeon tampil belakangan menyanyikan dua hits-nya, Fine dan I.
Gue bukan orang yang paham soal teknik vokal, tapi malam itu gue rasa vokal Tae
rada pecah dan goyang. Ekspresinya pun bete walau di akhir penampilan dia
senyum dan bikin gestur hati. Apapun, lagu Fine-nya rada nancep di kepala gue.
Gue putuskan buat nge-download lagunya dan itulah kesempatan pertama sampe akhirnya
gue mengulang-ulang lagu itu terus.
Tentu aja gue nggak ngerti arti
lagunya walau dari beberapa kata berbahasa Inggrisnya bisa gue simpulkan lagu ini
bercerita tentang cinta yang lagi nggak baik-baik aja. Not fine. Dan begitu
baca translate liriknya, wah, pantes aja cepet banget kena di kepala gue.
Semacem dapet sountrack of my life terbaru. Maklum, sebagai orang yang sering
merasa berantakan, gue langsung merasa related dengan isi lagunya. Hahahaha.
It's not fine, babe... |
Pada postingan kali ini gue mau
sedikit menulis tentang gelombang Korea alias Korean Wave alias Hallyu di
Indonesia dengan berbagai elemennya. Tulisan ini lebih merupakan sebuah
pendapat gue yang terbentuk dari hal-hal yang gue serap mengenai Hallyu. Here
this!
Drama Korea
Demam drakor di Indonesia dimulai
dari tayangnya Endless Love yang banjir air mata di Indosiar sekitar awal tahun
2000-an. Saat itu serial Asia masih didominasi dari Taiwan dan Cina, dan drakor
sebagai alternatif tontonan menawarkan cerita yang lebih konservatif menurut
gue.
You know this scene part, right? |
Judul kedua adalah Winter Sonata
(WS) yang tayang di SCTV. Dari OST-nya udah bisa diduga ceritanya bakal cengeng
juga. Gue suka WS dan tahu inti ceritanya walau nggak pernah full nonton dari
episode awal sampe akhir. Konon serial ini booming di mana-mana dan bikin orang-orang
pingin dateng ke Korea demi merasakan atmosfir bak Jun Sang dan Yoo Jin di Nami
Island.
Winter Sonata |
Setelah dua drakor itu lalu berturut-turut serial lainnya tayang di televisi swasta Indonesia, umumnya mengambil spot sore. Dari sini gue mulai gemar nonton drakor, walau nggak gila-gila amat kayak waktu gue suka banget sama Meteor Garden.
Berikut daftar drakor yang gue
tonton:
1. Memories of Bali
Paling favorit sampe sekarang,
bahkan pernah cabut duluan dari simulasi praktek laboratorium fisika demi
ngikutin episode selanjutnya, sementara temen-temen gue yang lain mengulang
prosesnya. Tipikal cerita Cinderela, gadis miskin dan pria kaya, namun
bernuansa getir dan suram di musim dingin. Sountrack-nya masih gue inget sampe
sekarang. Sama seperti kisahnya, lagunya pun bertema kegetiran hidup dan
posesif atas nama cinta.
2. Full House
Pengganti Memories of Bali yang
lebih ceria dan terkenal banget di Indonesia. Bukan favorit karena dari sini
gue udah mulai jengah dengan karakter utama perempuan di drakor yang sangat
tipikal (dianggap nggak cantik, sembrono, doyan makan, polos, ceria, tulus dan
baik hati). Cewek pecicilan begitu diperebutin dua pria
ganteng-tajir-berkelas... astaga, help me! Pecinta drakor mana yang nggak tau
lagu “Yes me, syalalala…” dan “I think I love you…”
3. Wonderful Life
(episode-episode awal doang)
4. Jewel in The Palace (suka aja,
nggak suka banget)
5. My Love Patzzi (suka tapi
nggak nonton komplit)
6. 49 Days (OST bagus, begitu
baca spoiler episode akhir, tau-tau kehilangan minat buat nonton)
7. Miss Ripley (Heroine yang
licik dan oportunis, beda, nggak nonton komplit juga)
8. Pink Lipstick (serial panjang,
dalam beberapa hal terasa nyata, nggak nonton komplit saking banyaknya
episodenya)
9. Torn Bird (suka, cukup
realistis dengan menempatkan heroine yang sampe akhir nggak pernah merasakan
keberuntungan mendadak -- sounds like our live, huh? Lead actor juga macho,
bukan tipe pretty boy).
10. Thankyou (cerita sederhana di
sebuah desa, tayang malam, lead actor maskulin)
11. Coffee Prince (dialognya
bagus, real, suka senyuman second lead actor-nya)
That smile! |
12. City Hall (kocak, akting
pemainnya bagus, beberapa adegan khas drama Korea)
13. Lovers in Paris (like it, but
enough for that typical heroine!)
14. Love in Harvard (cewek pinter
dan berjiwa sosial tinggi yang menginspirasi, terbelit kisah cinta segitiga ala
drakor)
15. Sad Love Story (mengernyit
sewaktu adegan spons di depan kelas perkuliahan)
16. Stairway to Heaven (tipikal
cerita sedih drakor)
17. All about Eve (drama profesi
pembawa siaran berita)
18. Princess Hours (lucu, but
enough for that typical caracter)
19. Boys Before Flower (versi
korea Meteor Garden yang lebih pol-polan soal harta F4, sebagaimana drakor,
nggak suka, Shan Chai version paling annoying menurut gue)
20. My Love Sassy Chun Yang
(lucu, cinta segiempat ala drakor, sountrack-nya bagus)
21. First Love a Royal Prince
(tipikal drakor, cowok kaya yang jatuh cinta sama cewek biasa, nonton dikit
doang)
Pada satu waktu gue emang rada
kecanduan drakor. Serial apapun yang ditayangin Indosiar pasti gue tonton. Tapi
setelah beberapa lama gue mulai jengah dengan repetitif cerita dan karakter.
Ah, lagi-lagi cewek miskin dan cowok kaya. Ah, lagi-lagi cewek polos dan cowok
dingin. Ah, lagi-lagi akhirnya cewek pecicilan itu diperebutin dua cowok too
good too be true. Dan gue juga mulai bosan dengan akting pemerannya yang kadang
gampang ditebak bakal mengeluarkan ekspresi kayak gimana.
Sekarang ini mungkin nggak ada
televisi nasional yang nayangin drakor. Tapi apa dengan begitu para fans-nya
kehilangan sarana? Tentu saja tidak, Saudara-saudara. Sekarang jamannya
streaming, download sampe episodenya beres untuk kemudian ditonton secara maraton.
Banyak temen kantor cewek yang suka berbagi file drakor berbagai judul. Yang
paling fenomenal di antaranya My Love from The Star, Descendants of The Sun dan
Goblin. Tapi sampe sekarang gue nggak cukup punya minat untuk mulai nonton
drama-drama itu. Bukan skeptis bakalan nggak suka atau kecewa—gue yakin drakor
sekarang lebih variatif, nggak melulu menawarkan kisah cinderela. Gue justru
yakin sekalinya gue nonton, gue bakal ketagihan dan mengalokasikan lebih banyak
waktu untuk berkutat di seputar serialnya. Ya browsing-browsing para
pemerannya, gosip antar pemainnya dan sederet keasyikan lain yang sangat perlu gue
hindari. Kenapa? Gue menuntut diri gue sendiri untuk lebih melakukan hal-hal
lain yang menjadi goal pribadi. Drakor dengan segala pesonanya yang
mencengkeram? Ehm, minggir dulu!
Kembali ke soal fenomena Hallyu, dulu,
kasarnya, siapa yang kenal Korea? Orang Indonesia mungkin akan samar-samar
berpikir kalau Korea itu serumpun dengan Tiongkok dari segi fisik. That’s all.
Tapi sekarang, siapa yang nggak kenal Korea? Siapa yang nggak kenal drakor? Dan
kenapa sih drakor diterima banget di Indonesia? Artis Indonesia padahal nggak
kalah ganteng dan cantik, akting juga boleh diadu… wait, wait, apa bener
begitu? Kalau yang kita omongin adalah medium sinetron, maka gue yakin sebagian
besar masyarakat kita bakal bilang drakor jauh lebih berkualitas daripada opera
sabun lokal. It’s obvious! Kalah telak. Sinetron kita amah apa atuh! Kalau
seandainya dibikin lebih niat mungkin drakor nggak akan menjadi virus yang
begitu mengancam. Masih inget sinetron Cinta-nya Dessi Ratnasari? Saat Memberi
Saat Menerima-nya Elma Thena? Tersayang-nya Jihan Fahira? Atau bahkan
Tersanjung yang fenomenal karena nggak abis-abis itu? Gue bukan penonton rutin
sinetron-sinetron di atas, tapi satu hal yang jelas, sinetron lawas tersebut
bercitarasa lokal, dengan cerita yang mudah kita bayangkan sebagai kemungkinan
terjadi di dunia nyata, plus karakter orang Indonesia yang kita pahami dengan
gesturnya yang khas. Pada akhirnya, menurut gue, menonton tayangan lokal
sebetulnya lebih membuat nyaman ketimbang, katakanlah, drakor.
But, hell, liat apa yang terjadi
sekarang? Ada masa ketika televisi kita tanpa malu-malu menayangkan sinetron
yang menjiplak plek drakor. Ada yang dapet rating tinggi, tapi ada juga yang
berhenti tayang karena diprotes. Yang terkini? Kita menemukan sinetron ribuan
episode dan cerita anak-anak geng motor. Semua karakter hitam putih—yang baik,
baiiiiiikkkk banget, yang jahat, jahaaaaatttt banget. Visualisasi? Hah! Apa
yang bisa kita harapkan dari adegan pura-pura menyetir di dalam mobil yang
nggak jalan dan cuma digoyang-goyangin?! Palsu dan bodoh.
Karena itu, drakor mengambil hati
kita tanpa rintangan berarti. Kita menyerah tanpa perlawan karena tahu diri
amunisi milik sendiri sama sekali nggak sebanding. Kehadiran drakor bagai oase
di gurun kerontang sinetron kita yang payah. Memang. Aktor-aktrisnya rupawan,
aktingnya pas, ceritanya bikin baper. Mereka membuat dramanya dengan niat. Liat
aja sountrack-nya; dibikin sesuai jalinan cerita dan khusus. Sinetron? Ambil
aja lagu band atau penyanyi yang lagi terkenal. Nyambung nggak nyambung ya
sebodo amat.
Drakor mendarat dengan mulus di
Indonesia. Ketimbang serial Amerika atau telenovela, drakor tentunya lebih
dekat dengan kita yang berbudaya Timur. Ceritanya cukup aman dan konservatif. Nggak
heran, satu elemen hallyu ini begitu mudah kita terima. Dan gue cukup kagum dengan para
aktor-aktris di sana. Sepertinya mereka, terutama yang udah terkenal, membatasi
performanya di layar gelas maupun layar perak alias nggak tampil mulu, alias
eksklusif.
Wait to Part 2 : Kpop
Tidak ada komentar:
Posting Komentar