Selasa, 26 September 2017

Gue dan Hallyu (Part 4 : A Way of Life)


source



Konon pemerintah Korsel menyokong industri hiburan mereka supaya bisa diekspor kemana-mana. Dan gelombang ini sudah dimulai dari dua puluhan tahun lalu. Hasilnya? Kita bisa lihat sendiri sekarang.

Pada akhirnya, hallyu memperkenalkan sebuah cara hidup; bagaimana mereka berperilaku, bagaimana mereka berpakaian, apa yang mereka makan dan hiburan macam apa yang mereka nikmati. Lihat Song Hye Kyo di Full House jadi ngiler sama baju-bajunya yang manis dan trendi. Lihat adegan makan di drakor atau variety show jadi pingin ikut nyobain juga. Lihat selebritinya kinclong-kinclong, jadi pingin belajar cara make up no make up. Lihat lokasi syuting yang indah-indah, jadi pingin jalan-jalan ke Korea. Denger cara mereka ngomong, jadi pingin belajar Hangul. Yang terjadi kemudian adalah sebuah pergerakan ekonomi. Ya fashionnya, ya makanannya, ya lokasi wisatanya, ya produk hiburannya, ya bahasanya. Semua yang berbau Korea diburu di mana-mana. Kita terpapar ‘iklan’ yang dibawa para selebriti itu.


Make Up No Make Up


Salah? Nggak dong. Malah seharusnya kita bisa mengambil pelajaran dari strategi perekonomian Korsel yang menjadikan showbiz mereka sebagai salah satu prajuritnya. Sekarang kita tahu sendiri Korsel adalah salah satu negara termaju di Asia, bahkan di dunia.


Yang lainnya

Bagi yang jijay sama apapun tentang Hallyu akan sangat mudah melempar statement, “Ngapain sih ngefans sama mereka? Hasil operasi plastik aja dibangga-banggain.” Well, ini juga jadi salah satu poin yang bakal terlintas di benak orang-orang ketika mendengar kata Korea Selatan: operasi plastik. Bukan rahasia lagi kalau masyarakat Korsel adalah salah satu konsumen tertinggi operasi plastik. Dunia kedokteran mereka sudah sedemikian maju, dan menjanjikan hasil yang mulus tanpa cacat. Sebuah foto montase kontestan Miss Korea 2013 sempat menjadi viral terkait operasi plastik ini, walau belum bisa dipastikan apakah ini akibat operasi plastik atau hasil Photoshop. Katanya di Korsel sana, poster iklan tentang perombakan wajah ini tersebar di tempat-tempat umum. Hadiah ulang tahun berupa voucher operasi plastik double eyelid procedure, konon sudah jamak diterima para remaja sana dari orang tua mereka.


Beauty Standard


Waktu pertama kali tahu fenomena ini beberapa tahun lalu gue berpikir, astaga, gue pasti dapet predikat jelek banget kali ya kalau jadi warga asli. Hahahaha. Palingan bentuk double eyelid  dan mata besar gue yang bisa bikin iri mereka. Hehehehe. Dan alangkah ironis banget standar kecantikan di sana. Ironis karena apa yang mereka pingin jauh terbalik dengan figur natural fisik mereka.

Tidak ada satu pun negara yang tidak punya standar kecantikan. Tiap masyarakat pasti punya. Kalau di Indonesia, cewek cantik itu berkulit putih, berambut lurus-panjang dan bertubuh langsing. Di Amerika sana, cewek cantik itu yang berkulit tan, berdada dan berpinggung besar. Di Korea? Seperti Barbie. Yang seperti orang-orang Kaukasia: putih, hidung mancung, mata besar, kelopak mata ganda dan dahi lebar. Sudah? Oh, belum. Di Korea sana standar kecantikan begitu tinggi dan spesifik. Mereka juga maunya punya muka berbentuk huruf ‘V’, dagu lancip, tulang pipi tidak menonjol, badan seperti huruf S; dada dan bokong besar tapi pinggang mesti kecil. Sudah? Oh, masih ada. Pernah dengar aegyo sal alias prosedur menambah lemak di bawah mata supaya kalau tersenyum terlihat ada ‘bengkak’ di bawah mata? Atau pernah dengar prosedur membuat ujung bibir ke atas supaya selalu keliatan sedang tersenyum?

What the—

Ngebayangin rahang dipotong trus dikikis aja rasanya gimanaaa gitu. Aw aw banget! Emang sih dengan bentuk rahang segitiga mulus, kita bakal dapet fitur wajah yang manis dan lembut. Tapi kalau mesti ‘digergaji’….? Wadawww!!!

Betapa ironisnya, mereka mengejar standar fisik yang hampir bukan mereka sama sekali. Sungguh tidak bersyukur. Sungguh sebuah obsesi gila yang ketinggian. Apa kabar soal kata-kata bijak tentang mencintai diri sendiri apa adanya? Dengan internet di Korsel sana yang terkenal kencang, apa masyarakat sana nggak pernah sekali pun tergerak mencari artikel tentang penerimaan diri?

Well, itu pikiran gue dulu (pertanyaan terakhir masih sering terlintas sih sekarang ini. Hehehe). Tapi kalau kita coba menggali lebih jauh tentang kultur di sana, maka kita mungkin akan lebih bisa memahami. Kalau—seperti yang diberitakan—banyak perusahaan mempertimbangkan fisik calon pelamar kerja, apa kita nggak akan berusaha memberi effort lebih? Kedengerannya gila, kenapa mau kerja jadi akuntan misalnya, kita mesti cantik dan ganteng? Tapi katanya memang demikianlah yang terjadi di sana. Dan gue rasa kalau kita dihadapkan dengan situasi macam itu, merombak penampilan melalui jalan operasi bukan lagi sebuah pilihan, tapi sebuah keharusan. Ini tentang keberlangsungan hidup, cuy! Kalau kata Sherina, lihatlah segalanya lebih dekat.

Kalau ada yang bilang fans Hallyu di Indonesia nggak nasionalis, gue rasa nggak sejauh itu juga ya. Emang banyak sih remaja yang saking demamnya sama Hallyu, gayanya jadi ke-korea-korean—walau gue yakin mereka bakal tetep milih nasi pecel ketimbang bulgogi, hahahaha. Ini sih yang perlu digaris bawahi, bahwa apapun yang berlebihan nggak pernah mendatangkan kebaikan. Suka ya suka aja, tapi nggak usah ikut-ikutan aspek buruk yang pastinya ada juga di Hallyu, semisal memakai baju terbuka ala mereka atau menjadi fans yang dikit-dikit bilang, “I believe in you, Oppa, no matter what.”. Hoooo….

Begitulah kira-kira.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar