Selasa, 13 April 2021

MUARA Bagian 2



Setelah hampir lima tahun saya rupanya masih bertanya-tanya, akankah semua ini bermuara di suatu tempat? Lima tahun dan, dalam keadaan hati yang berat pula, saya kembali menulis tentang sebuah muara idaman.


Saya sakit lagi. Lebih panjang dari yang sudah-sudah. Dan seperti lima tahun lalu, saya memiliki kesadaran bahwa semuanya tak lepas dari suasana hati yang begitu mendung beberapa hari ke belakang. Kemana-mana membawa hati yang berat. Terlalu berat hingga membebani imun tubuh.

Pada satu siang 3 minggu lalu di balik meja kerja, sebuah momen membuat saya kesal setengah mati. Saya bertukar pesan dengan seorang teman, bermaksud berkeluh-kesah. Saya bilang... seakan semua pintu tertutup untuk saya. 

Saya sedang menginginkan sesuatu hari itu (sampai hari ini juga). Begitu ingin. Hanya perkara itulah yang beberapa hari terakhir selalu saya panjatkan di dalam doa sehabis shalat. Rasanya begitu frustasi. Begitu mengidamkan, namun jika berbicara kalkulasi logika manusia, saya sudah tersisih sejak garis pertama. Harapan saya hanya tinggal kekuatan langit. Namun Ia pun bisa saja berkata "tidak".

Sedikit saya ungkapkan tentang ketakutan-ketakutan saya dalam hidup ini kepada teman saya itu. Terdengar seperti sebuah gugatan; mengapa hidup seperti ini, mengapa selalu tak menyediakan apa yang saya inginkan padahal saya sudah melakukan semua yang saya bisa. Selalu saja langkah saya terbatas. Tangan ini tak mampu menggapai idaman.

Yang terjadi kemudian adalah saya mengunci diri di toilet kantor dan menangis diam-diam. Having mental breakdown. Sebuah ending yang tidak disangka-sangka, mengingat hari itu dimulai dengan lancar-lancar saja. Cemilan coklat dan es krim yang saya beli hari itu tak juga mampu meriangkan kembali hati yang sudah terlanjur berat.

Sampai hari ini saya masih sakit. Luar dan dalam. Sudah hampir dua minggu tak kunjung sembuh. Dan ketakutan-ketakutan perihal masa depan semakin menggila mengusik kepala. Setengah lima sore tadi, saya merasa begitu kesepian. Tapi tidak ada yang bisa saya lakukan, hanya berlagak semuanya berlangsung seperti biasa, dan curhat di sini. Di balik dada sebelah kiri, ada organ yang terasa begitu berat. Terlalu berat hingga membebani tubuh.

Tahun 2016 pun memang seperti ini. Saya mengidamkan sesuatu, didorong seribu motivasi dan salah satu di antaranya adalah saya ingin membuktikan diri. Situasinya pun mirip; modal kecil yang tidak sejalan dengan impian yang cukup besar. Tolong! Saya hanya butuh satu pintu yang terbuka. Satu! Satu saja kesempatan dan saya akan berusaha untuk tidak menjadi sumber kekecewaan.

Sampai tahun 2017 tak ada juga pintu yang terbuka. Setelah serangkaian tangisan frustasi, saya memutuskan untuk menyerah. Saya putuskan untuk melepaskan impian itu.

Malam ini, saya kembali bertanya-tanya, adakah muara itu? Terkadang begitu ingin mengintip masa depan, akankah saya baik-baik saja esok hari? Dapatkah saya bernanung di sebuah tempat yang teduh? Akankah sebuah pintu kesempatan terbuka esok hari? Kadang terlalu takut; apakah saya harus menyerah lagi, dan kembali hanya bisa memgangkat alis, tak paham apa itu arti bahagia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar