Minggu, 15 Mei 2022

Lebaran




Setelah dua kali berturut-turut tercekal di perantauan gara-gara Covid, tahun 2022 ini akhirnya masyarakat Indonesia dibolehkan untuk mudik ke kampung halaman. Walau pastinya dalam dua kali momen itu ada yang curi-curi kesempatan dan tetap nekat mudik, 'izin' dari pemerintah tahun ini jelas merupakan sebuah kelegaan. Karena itu, sebagai sebuah momen yang sangat ditunggu-tunggu, banyak yang kepancing begitu ada sebuah cuitan tentang pengalamannya yang never enjoy Lebaran celebration. What a ordinary day on Twitter!


Cuitan tertanggal 30 April 2022 a.k.a cuma dua hari sebelum Lebaran yang lantas mengajak orang lain untuk share pengalaman tidak menyenangkan selama Lebaran itu dituduh spreading negativity. Setelah dua kali Lebaran jadi Bang Toyib, begitu dapet izin mudik trus ada yang ngecuit begini??? Kalau mau nge-twist cuitannya bisa diartikan kayak lagi ngenyek orang-orang yang bersusah-payah macet-macetan di jalan. 


Pada ngapain si elo pada? Semua usaha ini cuma buat satu hari raya bernama Lebaran?

 

Untuk yang offended sama cuitan mbak-mbak yang never enjoy Lebaran, saya bisa paham. Ketika sesuatu yang kita anggap berharga tapi disepelein orang lain tuh ya gimana gitu rasanya. Timing-nya memang nggak pas yah.

Tapi, di lain pihak, saya juga nggak mau menginvalidasi perasaan orang-orang yang memang semuak itu sama hari raya—atau mungkin tepatnya, sebel sama tradisinya yaitu kumpul-kumpul keluarga besar yang sering banget jadi ajang nyinyir dan nanya-nanya hal privasi semacam, "kapan kawin?"

Manusia mengalami hal yang berbeda-beda. Hanya karena kamu punya pengalaman indah selama Lebaran, bukan berarti semua orang juga. Atau hanya karena kamu bisa enteng menjawab pertanyaan-pertanyaan nyebelin semacam 'kapan kawin?', bukan berarti orang punya mental yang sama kuatnya.

Lalu, bagaimana dengan saya sendiri? Malah sebetulnya postingan ini saya tulis karena lebih pingin share my own thoughts and experinces, instead bring that controversy twit up here.

Jadi, seperti apa persepsi saya tentang Lebaran sendiri?

Kalau kata orang, Lebaran itu berkesan pas kita masih kecil aja. Momen dapet salam tempel dari sanak-saudara trus lanjut ke mini market buat beli es krim umumnya menimbulkan perasaan senang buat anak-anak. Saya sendiri punya pengalaman seperti itu; beli es krim Campina bentuk hati atau Micky Mouse dari uang salam tempel. 

Dan yang nggak pernah berubah adalah menu hidangan yang sama setiap tahunnya. Ketupat, gulai buncis, semur ayam—semua makanan ini bahkan masih terhidang tahun ini walau Mama sudah pergi.

Ah, Mama tersayang. Bagaimana mungkin Lebaran masih akan sama rasanya tanpa beliau?

Tapi mari menulis soal momen Lebaran semasa anak-anak lebih dulu.

Well, sebagai seorang introvert sejati, momen kumpul-kumpul sanak-saudara yang barely I know pastinya bukan hal yang cukup menyenangkan buat saya, bahkan sejak saya masih anak-anak. Rasa-rasanya saya masih ingat, mungkin sewaktu saya masih enam tahun atau lebih, sebuah momen saat adik sepupu duduk dipangku dengan manjanya dengan abang sepupu saya yang lain. Siapa yang nggak kepingin disayang-sayang dan dimanja-manja begitu? Tapi, bahkan ketika sudah berumur banyak seperti sekarang, saya tahu saya nggak bisa melakukannya. Approach seseorang lebih dulu dan luwes bersosialisasi, maksud saya. Bergabung dengan kelompok yang saya kenal tapi nggak akrab masih menakutkan buat saya sampai saat ini.

Momen silaturahmi ke Mamak—oom dari keluarga ibu—setiap tahunnya saja selalu berakhir Mama ngobrol sendiri dengan abang sepupunya itu, sedangkan saya dan saudari-saudari terdiam canggung di sofa rumahnya. Every single year!

Kalau nggak salah sekitar beberapa tahun lalu, saya juga mulai kepikiran, kok Lebaran begini-begini aja ya? Rutinitasnya begitu-begitu aja. Malah, semakin tahun, kumpul-kumpul keluarga besar makin minimwhich I don't complain, but why is more quiet? Semasa kecil Lebaran bukan sebuah perayaan meriah berbunga-bunga penuh kembang api, lalu setelah dewasa semakin senyap aja. Why?

Pada akhirnya saya sampai ke kesimpulan, it was not supposed to be extra ordinary though. It was not supposed to be full of fireworks, flowers, etc, etc. Tahun 2014 saya sudah berpikir begini.

Ramadhan is way more important, isn't it? Momen memanen pahala sebanyak-banyaknya. Momen lebih mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Katanya Lebaran adalah hari kemenangan, jadi kalau Ramadhan-mu terasa sebagai sebuah momen tenang, syahdu dan damai, bisa dikatakan kamu sudah menang. Kalau kamu seperti saya yang sering berpikir sesuatu semakin superficial dan kehilangan maknanya karena penilaian orang-orang semakin jauh dari esensi, Lebaran yang anteng-anteng aja harusnya tak jadi soal. Kamu bisa menikmati momen sakralnya sambil merenungi amal ibadah yang masih sangat kurang dan berharap bisa meningkatkannya di kesempatan tahun depan.

Tradisi Lebaran yang identik dengan silaturahmi alias kumpul-kumpul keluarga besar memang bukan favorit saya. Tapi bertahan di suasana nggak nyaman sekali setahun bukan perkara besar untuk saya. Dan alhamdulillah-nya, saya belum pernah dapet pengalaman ditanya 'kapan kawin?' yang traumatis banget. Saya cukup aware, di situasi saya sendiri, pertanyaan apapun hanya basa-basi yang nggak perlu diambil hati terlalu jauh.

Lalu, bagaimana dengan Ramadhan dan Lebaran tahun ini?

Jujur, saya merasa masih lebih banyak mengurusi perkara duniawi. Bisa dilihat dua postingan curhatan saya selama Ramadhan tahun ini masih seputar pekerjaan dan patah hati. Saya berusaha sedapat mungkin sholat tarawih, tapi tentu masih jauh dari kata cukup. Ramadhan tahun ini juga terasa berat karena jarak kantor-rumah yang makan waktu sampai 90 menitan. Saya sering mampir dulu di masjid pinggir jalan buat sholat maghrib, yang agaknya akan menjadi kebiasaan yang saya teruskan sekarang supaya nggak jama' melulu sama Isya di rumah. Lalu momen menyempatkan diri berhenti sebentar di pinggir jalan untuk sekadar minum dan makan sedikit kue... wah, semoga saya segera dapat pekerjaan baru yang jaraknya lebih dekat dari rumah. Amin.

Dan Mama... kadang masih berpikir Mama belum setua itu untuk pergi sekarang. Semangat hidup beliau bahkan masih menyala-nyala, kenapa sudah dipanggil? Basically, I am just her spoiled child and I miss being spoiled by her. The way she call me 'bontot Mama'...

Tapi, di antara nuansa 'anteng' tentang Lebaran, saya masih menyimpan harapan akan suatu perubahan di masa depan. Saya membayangkan menghabiskan malam takbiran di rumah sendiri—dengan keluarga sendiri tentu lebih baik. Dan bukannya 'mudik' ke rumah saudara, dan menghabiskan waktu sehabis sholat Ied dengan maraton drama Korea selagi kakak saya silaturahmi ke rumah mertuanya. Wkwkwk. Lalu di hari ketiga Lebaran kabur ke luar kota dengan teman sesama bontot yatim piatu. Hmm.

Saya mendambakan Lebaran yang lebih ceria. Saya mendambakan membagi momen dengan seseorang yang signifikan. Bukankah Nabi sendiri mencontohkan untuk bergembira di Hari Raya Idul Fitri?

Semoga saya, kamu, dan semua orang, termasuk orang merasa tidak pernah menikmati momen Lebaran dan bahkan traumatis dengan hari raya ini, akan mendapatkan kesempatan sebuah momen yang penuh dan membahagiakan, sehingga perayaan satu kali setahun ini menjadi hari yang kita tunggu-tunggu. Amin.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar