Kamis, 26 Mei 2022

Seperti yang Disuarakan Yeom Mi-jeong



Yeom Mi-jeong adalah karakter perempuan di drama Korea My Liberation Notes yang pada saat saya menulis ini masih menyisakan dua episode final. Saya mau bikin tulisan ini selain nanti review-nya karena karakternya sedekat itu sama saya, si introvert. Ahh, blog ini layaknya diary buat saya. Seseorang boleh membacanya karena saya sudah memperhitungkan sejauh apa saya akan menguak isi hati sendiri di sini. Namun, di saat yang sama, saya nggak benar-benar peduli apakah ada yang membaca ini atau tidak. Saya cuma pingin menuliskan hal-hal yang bekecamuk di kepala.

 

Di Mana Pun Akan Tetap Begini

Beberapa waktu lalu saya dapat DM tawaran pekerjaan untuk penempatan di site pertambangan Sumbawa, NTB. Saya lantas mengontak seorang kakak saya, bertanya apakah suaminya barangkali mendengar 1-2 info tentang perusahaan ini mengingat dia sendiri bekerja di perusahaan minyak multinasional. Long short story, meski saya sudah mengirim CV, saya tidak mendengar kabar lagi perihal rekrutmen ini dari sang recruiter. No wonder, saya memang merasa sangat under qualification. Bekerja di perusahaan pertambangan? Hampir mustahil, ditilik dari latar belakang pendidikan dan kompetensi saya sendiri. 

Tapi bukan masalah rekrutmen pekerjaan yang ingin saya bahas di sini, melainkan salah satu chat kakak saya waktu itu. Tahu apa ketikannya?

 

"Kali aja dapat jodoh orang Bima."


Saya langsung tersenyum pahit. Ide bahwa saya akan bertemu jodoh saat pindah ke tempat baru hanya terlintas di diri Novia yang lebih muda. Sekarang? Saya pesimis. Di mana pun saya berada, saya akan selalu begini; si introvert yang tidak luwes bergaul. Atau haruskah saya katakan saya payah dalam hal ini? Alih-alih berkeliling berkenalan dengan orang baru, saya kemungkinan malah memilih menyendiri di rumah.

Seperti yang disuarakan Yeom Mi-jeong. Setiap hari ia bolak-balik naik kereta Sanpo-Seoul, makan waktu 1,5 jam sekali jalan. Teman-teman kerjanya menyarankan agar dia pindah ke Seoul, tapi Mi-jeong sudah tahu, dia akan sama saja. Di mana pun akan sama saja. Coba lihat gambar tema postingan ini; Mi-jeong terasing dalam kelompok. Menit-menit awal episode pertama drakor ini sejujurnya menyakitkan untuk dilihat karena saya seperti bisa melihat diri sendiri.

Selalu duduk atau berdiri paling pinggir dengan ekspresi bingung, tersenyum kikuk dalam keramaian, terus-menerus melirik jam yang seakan merangkak, menjawab pertanyaan basa-basi orang lain sambil berharap mereka betul-betul tertarik, setengah mati berharap orang-orang tidak notis bahwa saya sepayah itu dalam hal bergaul, sering menolak acara kumpul-kumpul dengan alasan rumah jauh... itu saya.

 

Itu saya. 


Sulit, sungguh, menghadirkan lagi gagasan sekaligus harapan di kepala bahwa saya bakal bertemu 'seseorang' di tempat baru. Hasil berbeda tidak datang dengan melakukan hal yang sama, bukan?

Saya dari dulu sudah paham, lebih baik betul-betul berada di tengah orang yang sama sekali asing daripada berkumpul dengan segerombolan orang yang saya kenal tapi tidak akrab, alias saya hanya tahu wajah dan nama mereka. Keharusan berakrab-akrab ria dengan mereka membuat saya kelelahan. Sungguh. 

Satu monolog Mi-jeong yang paling menohok buat saya adalah pada saat ia berucap bahwa setiap hubungan seperti sebuah pekerjaan. Dalam konteks ini, pekerjaan berarti sebuah beban yang mesti diselesaikan. Saya persis merasa begini. Acara kumpul-kumpul seakan tidak habis-habis. 

 

Arisan. 

 

Pertemuan bulanan. 

 

Buka bersama.

 

Halal-bihalal.

 

Acara tujuh belasan.

 

Sabtu lalu saya baru datang sendirian ke acara halal-bihalal Lebaran komplek rumah. Dan memang rasanya seperti itu; seperti sebuah pekerjaan yang mesti ditunaikan. Saya mengobrol basa-basi yang kelewat canggung dengan seorang tetangga dan pura-pura sibuk dengan piring sendiri. Dalam hati terus meyakinkan diri sendiri bahwa saya hanya perlu bertahan sebentar lagi.




Sebelumnya, saya pernah diundang untuk kumpul-kumpul di rumah seorang tetangga. Hari itu hanya selang beberapa hari setelah saya resmi pindah rumah dan tinggal sendirian. Saya menolak datang dengan alasan tidak enak badan. Tidak bohong, karena siapa yang tidak enak badan setiap hari harus naik motor sejauh 70 kilo? Tapi, alasan sesungguhnya adalah karena acara kumpul-kumpul bisa semenyiksa itu untuk saya. Tahukan kalian, saya bahkan merasa ngeri saat seorang tetangga mengirim video ke grup chat komplek berisi suasana acara-acara kumpul tersebut. Sungguh, saya nggak bisa memilih kata yang lebih tepat selain kata 'ngeri' untuk mendeskripsikan perasaan saya sewaktu melihat video itu. Saya bergidik membayangkan harus berada di situasi kumpul-kumpul semacam itu.

Tidak sekarang, tidak dulu. Sama saja.

Dulu sewaktu bekerja di divisi sebelumnya juga begitu. Acara makan-makan dan kumpul-kumpul di luar tak habis-habis. Bahkan dulu setiap Jumat, para karyawan perempuan di divisi saya punya jadwal makan siang ramai-ramai di luar. Ah, makan siang bersama di dalam kantor pun sama semenyesakkannya. Tidak bisakah saya makan sendiri di meja sendiri tanpa orang lain merasa perlu 'mendorong' saya untuk lebih bergaul? Sungguh, kadang-kadang saya merasa orang-orang tidak cukup menghormati orang introvert. Heck, kebanyakan orang bahkan tidak paham apa itu introvert. Kebanyakan orang berpikir SEMUA orang bersenang-senang di acara kumpul-kumpul. Pada satu kesempatan saya pernah kepingin mendatangi psikolog dan minta dihipnotis atau apapun supaya otak saya bisa terbalik hingga saya punya keberanian untuk membaur. Demi Tuhan saya pernah berada dalam fase ini.

Mundur lagi ke masa-masa kuliah yang tertunda lama setelah lulus SMA... astaga! Sungguh pengalaman yang tak kalah menyesakkan. Kalian tahu, saya pernah menyembunyikan pisau agar jauh dari jangkauan di kamar kontrakan saya yang cuma sepetak itu. Karena apa? Karena saya sefrustasi itu dalam hal bersosialisasi hingga takut menyakiti diri sendiri. Saat itu saya merasa seperti seorang alien yang nyasar ke bumi.

Seperti yang disuarakan Mi-jeong, setiap hari saya seperti sedang menggembala diri sendiri. Setiap hari saya menggiring tubuh sendiri untuk melewati hari demi hari. Ketika mengetik kata 'introvert' di kolom pencarian blog ini saya pun masih sering tercengang dengan tulisan-tulisan kegelisahan saya selama ini.


Utuh

Apakah orang-orang introvert punya pemikiran dan pilihan kata yang relatif sama? Lucu sekali, saya pun kerap menggunakan kata 'utuh' untuk menerangkan hal yang betul-betul saya inginkan di dunia. Saya ingin merasa utuh. Merindu untuk merasa penuh. Sekali saja, jika selamanya terlalu muluk. Saya pingin dipeluk erat-erat; alih-alih merasa tulang saya bakal remuk kesakitan, saya justru merasa tulang-tulang tubuh saya bakal rekat kembali hingga menjadi utuh. 

Kata Mi-jeong, "pujalah aku."

Orang lain bisa menginterpretasikannya secara berbeda; apakah memuja secara literal seperti menyembah, atau sekadar menghormati. Saya pribadi mengartikannya Mi-jeong minta dikasihi sampai tahap dibucinin. Dia minta dipuja supaya dirinya merasa diinginkan, berharga, spesial dan layak sehingga dirinya bisa merasa utuh. Lantas dia akan berubah menjadi versi dirinya yang percaya diri. Yang mencintai diri sendiri. Apa yang bisa dilakukan perempuan ketika sudah percaya diri? Apapun. Bahkan menguasai dunia pun rasanya sanggup.

Satu kali saja merasa penuh. Kadang-kadang sampai sefrustasi itu; seakan saya sanggup merelakan apapun, I would risk forever to make it right seperti kata Sabrina Claudio.

Entah teman saya menangkap kata-kata saya atau tidak, sewaktu saya bilang saya akan ambil peluang untuk merasa bahagia dan dicintai meski hanya untuk sekejab, meski kemungkinan untuk diperlakukan buruk setelahnya lebih besar peluangnya. Ini saya katakan sewaktu teman saya bertanya apa yang akan saya lakukan kalau jadi dia yang sedang ragu-ragu apakah mau meneruskan hubungannya dengan seorang pria asing dari US sana.


Ah, This is Life

Salah satu adegan favorit saya di My Liberation Notes adalah sewaktu Mi-jeong lari hujan-hujanan demi menyuruh Mr. Gu masuk ke dalam rumah. Monolog Mi-jeong dan caranya mengucapkannya begitu membekas.

 

Ah, rupanya ini yang dinamakan hidup. Aku senang dengan hidup ini. Aku ingin merasakan hal itu. 


Same, Mi-jeong, same. Saya pun sungguh ingin merasa bahagia di dunia sampai di tahap bisa berkata, "ah, this is life.". Bukan berarti saat ini dan sebelumnya saya merasa sengsara, hanya saja saya juga tidak merasa bahagia. Kalau memikirkan atau mengingat-ingat kapan terakhir kali saya merasa bahagia... rasanya saya tidak benar-benar punya jawaban. Mungkin terdengar dangkal, di tengah kampanye self love, saya kerap mendefinisikan rasa bahagia ketika merasa dicintai dan diinginkan.

Dan monolognya tentang guntur dan perasaan lega jika dunia ini berakhir dalam satu waktu... tidakkah itu yang saya tuliskan di sini?

Seperti yang disuarakan Mi-jeong, saya pun ingin merasakan bahagiamerasakan 'surga' di duniawalau tidak seperti Mi-jeong yang menyatakan dengan pasti bahwa ia tidak butuh surga karena ia tidak peduli akan pergi kemana setelah mati. Meski Al Quran sudah memberi spoiler tentang bagaimana rupa surga, dengan penjelasan yang dapat dijangkau oleh logika manusia, saya sering membayangkan surga adalah padang rumput yang luas dengan pohon-pohon rindang. Tidak ada apapun selain ketenangan. Dan saya pikir tak mengapa jika surga bukan tempat penuh bunga dan buah... ah, mungkin boleh juga ada bunga, karena Mama saya adalah pribadi yang lebih meriah dan mencintai kesemarakan... Jika surga adalah tempat yang tenang dan cenderung sunyi, tak mengapa. Selagi saya sudah merasakan bahagia di dunia, surga yang seperti itu pun tak mengapa. 

Sungguh sebuah karakter yang mewakili introvert di mana pun...







 *photo grid from Twitter, thanks to owner



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar