Minggu, 17 Juli 2022

My Own Story of Lady Bird



Hari Kamis kemarin, tanggal 14 Juli 2022, tepat satu tahun Mama pergi. Saya sembuh dari sakitnya lebih cepat dari perkiraan, jika kata sembuh diartikan bahwa saya melanjutkan hidup secara wajar, bisa tertawa lagi dan, tentu saja, bisa menangis lagi.


Tapi tulisan ini tidak saya niatkan untuk mengingat apa yang terjadi satu tahun lalu. Kiranya sudah banyak tulisan tentang kepedihan tersebut di blog ini pada semester kedua tahun lalu. Saya justru ingin mengingat-ingat seperti apa hubungan kami; ibu dan anak bungsunya.

Sejauh apapun saya berpikir, mengingat sampai meromantisasi, Mama bukanlah seorang ibu sempurna. Saya beberapa kali merasa marah pada beliau, merasa tidak dipahami dan bahkan kerap dihakimi. Masih ada di buku harian saya tulisan kemarahan setelah ia mengomeli saya; betapa saya tidak pernah membawa masalah besar ke rumah, namun beliau tetap saja mengomel. Beliau beberapa kali bilang bahwa saya tidak bisa dikritik. Dan saya kerap sakit hati tiap kali beliau mengulang cerita bahwa saya dulu pernah melontarkan kata-kata yang begitu menyakiti hatinya sampai-sampai ia terus mengingatnya sampai lama. Saya bahkan pernah mencari tahu apakah hanya ada satu ketetapan: anak durhaka? Tidak mungkinkah ada ketetapan sebaliknya?

But, Mam, that's make us human, right? Karena itu saya tidak ikut perdebatan siapa yang paling salah di antara Christine "Lady Bird" MacPherson dan ibunya. It just happened. That's life, isn't it? Seorang ibu dan anak perempuannya yang saling menyayangi pun mustahil punya hubungan yang mulus-mulus saja. Pasti sesekali terlibat konflik yang menyakiti hati satu sama lain.

Saya dan Mama hidup bersama selama 33 tahun dan 9 bulan permulaan di perutnya, jadi mana mungkin kami selalu memiliki hubungan indah lovey-dovey? We're not. Dan saya sangat bersyukur untuk itu. Kami memiliki hubungan naik-turun sewajarnya hidup manusia. Bukankah kita manusia pada akhirnya mendamba hal-hal wajar saja dalam hidup ini, alih-alih riuh kembang api setiap waktu?

My Mam isn't perfect and I don't need her to be.

Mama saya tipe ibu-ibu kebanyakan; mengomel setiap hari tentang kerapian rumah. Ia agak terobsesi tentang itu. Dan ia mencintai tanaman; sesempit apapun rumah kontrakan kami dari waktu ke waktu, ia pasti menyediakan space untuk menanam satu-dua tanaman. Saya ingat sebuah kejadian di masa lalu, ketika Tangerang mengalami kemarau panjang dan kami krisis air bersih. Kebetulan waktu itu Mama menginap di rumah seorang kakak saya di Bekasi, dan ketika ia pulang, ia langsung mengomeli kakak saya yang lain karena luput menyiram tanamannya. Kakak saya itu pun menyahuti, "Anaknya aja nggak mandi, malah mikirin taneman!". Berapa kali pun saya mengingat hal itu saya selalu tertawa. Sejauh itulah Mama mencintai tanaman.

Mama bersedia mengabulkan keinginan saya untuk mengecilkan rok SMA saya dulu; jadi lebih ketat dan pendek. Entah mengapa. Saya sampai sekarang tidak mengerti. Tapi beberapa tahun lalu ia sukses menyembunyikan rok pendek saya yang baru beberapa kali saya pakai ke kantor. Juga celana pendek yang baru saya pakai satu kali ke Pantai Sawarna; sukses disembunyikan. Hahaha. Berapa kali pun saya mengingat hal-hal ini saya selalu tertawa. Sejauh itulah Mama menjaga saya.

Ada satu cerita Mama tentang saya yang masih balita yang begitu saya sukai. Cerita ini terjadi ketika saya masih balita; saat saya berusia 3 atau 4 tahun. Saya dibawa Mama pergi mencari suatu tempat dengan berjalan kaki. Sejak di rumah Mama sudah memberi pengertian kepada Novia kecil bahwa saya tidak boleh minta gendong atau jajan es. Tapi di tengah perjalanan, Mama menggendong saya dan membelikan es juga. Dan saya waktu itu bilang, "kata Mama nggak boleh minta gendong? Kata Mama nggak boleh minta jajan es?". Mama saya menjawab, "Mama kasihan sama Opi.". 

Tidakkah gadis bontotnya ini sudah memegang kata-katanya sendiri sejak balita? Beliau tidak berhenti cemas selayaknya seorang ibu, tapi ia mengenal saya begitu baik; ia tahu saya dapat dipercaya. Setidaknya ia tahu anaknya ini tidak akan meninggalkan sholat. Insya Allah.

Saya menyukai fakta bahwa saya memiliki ibu yang normal. Beliau lucu, cerewet, penyayang, perhatian, hidup untuk keluarga, menyukai uang, punya hobi dan punya selera sendiri. Saya bahkan pernah berpikir kalau misalkan ia tante saya, saya mungkin akan agak tidak suka padanya. Terkadang ia memberi kesan tinggi hati, jujur saja.

Dan saya lebih-lebih menyukai fakta bahwa pada dasarnya ia adalah seorang pejuang. Mama adalah kebanggan kami keluarganya. Sampai kapanpun saya tidak akan berhenti bicara bahwa Mama saya pernah sakit macam-macam tapi keluar sebagai penyintas dengan gilang-gemilang.

Mam, menulis kenangan kita seperti ini membuat saya merasa saya tidak cukup banyak mendengar cerita-ceritamu. Padahal saya tahu Mama selalu suka ngomong. Cerita apa, Mam? Tentang Mama dan Atuk yang lari ke hutan ketika ada perang saudara? Atau tentang DN Aidit? Atau, tentang cerita favoritmu... tentang jejeran pria yang melamarmu? Hahaha.

Mam, ketika frustasi dengan hidup ini, saya suka berandai-andai untuk mereset dunia dan seisinya. Mungkin, titik awalnya ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Atau ketika Soeharto baru mulai menjabat. Entahlah, saya hanya merasa negara ini sudah demikian carut-marut hingga cara satu-satunya untuk mengurai masalah adalah dengan kembali ke titik awal. Mam, kalau hal itu bisa terjadi, dan hidup saya diulang dari awal, satu hal yang tidak ingin saya ubah: menjadi anakmu. Menjadi anak manjamu. Karena itulah saya sebenarnya: your spoiled child. Mam, you must know, everyday I miss you.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar