Sabtu, 10 Juni 2023

Perawan Tua



Perempuan nggak pernah kekurangan label negatif sepanjang hidupnya. Siapa yang sekarang ini nggak paham istilah 'pelakor'? Janda gatel? Perawan tua? Perempuan cuma sedang menjalani hidup; bekerja mencari nafkah diri, bergaul sewajarnya, tidak merecoki hidup orang lain, TAPIIII, out of nowhere, dilempari label-label negatif.

 

Dua minggu terakhir rasanya isu tentang perempuan yang belum menikah di usia matang datang beruntun. Ada satu menfess (mention and confess) di Twitter yang isinya begini:

 

 

 

Setidaknya ada dua base lain yang up screenshot di atas dalam waktu berdekatan. Komentar netizen bermacam-macam; ada yang insecure seperti sender di atas, menafikan karena ada teman/sepupu/tetangganya yang menikah in their late 30-ish dengan calon berkualitas, menyemangati dengan kalimat bahwa segalanya sudah diatur, sampai yang tersinggung karena menangkap kesan seolah menikah adalah sebuah pencapaian hidup.

Saya sendiri, sebagai perempuan di usia pertengahan 30, ikut barisan yang mengiyakan. Poin bahwa jodoh harus diusahakan dan bukan ditunggu itu salahnya di mana? Memang begitu, kan? Bukankah menikah termasuk rejeki, dan rejeki memang harus diusahakan alias dijemput? Dan perkara peluang perempuan mendapat jodoh yang semakin menyempit seiring bertambahnya usia juga saya mengaminkan. Memang yang saya lihat begitu kok. 

Kalau kamu perempuan pekerja seperti saya, di kantor kamu pasti banyak bertemu laki-laki seusia atau bahkan yang usianya di bawahmu rata-rata sudah menikah. Laki-laki seusiamu yang belum menikah? Kategorinya hampir pasti seperti deskripsi di atas: duda atau yang value-nya lebih rendah darimu. Jadi, pria lajang 30-an tahun high value sudah tidak ada lagi di 'pasaran'? Ada, pasti ada. Tapi kemungkinan jumlahnya sedikit. Dan masalah lainnya adalah, apa ia tertarik padamu? 

Bahasan tentang dating pool ini masih terbilang waras dan tidak menyakiti hati moengil-ku sampai ketika satu-dua netizen bawa-bawa istilah 'perawan tua', yang diasosiasikan dengan kepribadian sensitif, pemarah dan menyebalkan. Lebih jahat lagi ada yang melempar cercaan seolah mereka dirugikan hanya dengan fakta eksisnya perempuan-perempuan lajang yang mereka sebut 'perawan tua' ini. Fakta bahwa ada orang-orang yang kecewa, sewot dan geram ketika melihat perempuan belum atau bahkan memutuskan tidak menikah sungguh butuh penelitian ilmiah lebih lanjut. Tiada hari tanpa menghakimi jalan hidup perempuan. Huft.

Dan tau apa yang lebih gila lagi? Bukan cuma di Twitter, yang notabene para pencuitnya saya nggak kenal jadi bisa saya bodo amatin aja, stigma 'perawan tua itu nyebelin' juga saya dengar di dunia nyata beberapa hari lalu. 

Jadi ada satu tenant perempuan yang hobi komplen soal fasos-fasum cluster rumahnya yang menurut dia tidak sebanding dengan biaya IPL (Iuran Pemeliharaan Lingkungan) yang wajib dibayarkan. Ada satu rekan kerja perempuan yang malam-malam melapor ke grup WhatsApp kantor kalau si tenant perempuan ini bergerilya menjelek-jelekkan developer tempat saya kerja di Instagram. Dan rekan kerja saya ini berkomentar bahwa pantas saja si tenant perempuan belum menikah (karena mulutnya lamis dan menyebalkan).

Siapa yang mau menyangkal kalau masyarakat kita punya kecenderungan misigonis, dan yang seperti itu bukan cuma dilakukan laki-laki, tapi perempuan juga. Internalized misogyny is exist. Udah nggak jaman bilang kalau perempuan selalu benar. Yang sungguhan terjadi malah perempuan kerap disalah-salahkan bahkan ketika mereka cuma sekadar eksis dan bertahan hidup. Not gonna lie, saya sedih karena distigma di depan muka saya meski ujaran rekan saya itu tidak ditujukan kepada saya.




Hal lain yang terjadi dalam dua minggu terakhir ini adalah bahwa saya memutuskan untuk mengakhiri proses taaruf dengan seorang lelaki di salah satu aplikasi. Well, little did you know that I had done this and that to give myself a husband.  

Apa perkara yang memberatkan? 

Tanpa berniat merendahkan, proses ini tidak berhasil karena income laki-laki itu di bawah saya. Value seseorang memang tidak ditentukan oleh besaran gaji, tapi tingkat ekonomi adalah salah satu indikator utamanya. Jadi, kalau dibilang value laki-laki itu di bawah saya rasanya tidak salah juga. Kami tidak sekufu. 

Saya bilang bagaimana nanti dia memenuhi keuangan rumah tangga, apalagi kalau sudah punya anak. Dia bilang kalau sudah punya anak tidak mungkin masih bertahan di tempat kerja yang sama. Saya bilang kenapa tidak mulai mencari yang lebih layak dari sekarang karena menikah pun butuh modal. Dia bilang bidang pekerjaannya punya peraturan berbeda-beda di tiap perusahaan. Saya bilang gajinya yang separuh UMR Jakarta itu untuk kebutuhan satu orang pun sudah sangat mepet, apalagi untuk berdua. Dia bilang asal kami berusaha, Insya Allah akan tercukupi semua kebutuhan. 

Dia bilang tidak mau mengandalkan gaji istri. Saya membatin dalam hati, lalu gaji siapa yang mau diandalkan? Bisa saya bayangkan, kalau saya nekat menikahi laki-laki ini dengan mindset-nya yang terlalu teoritis, rumah kami akan sering terdengar ucapan dia seperti, "Trus mau gimana? Kan kamu tau aku memang cuma bisa menghasilkan segitu."

Apa kabar dengan menginginkan hal-hal terbaik?

See? Screen shot di atas memang benar adanya. Ini bitter truth yang harus kamu telan sebagai perempuan.

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar