Kamis, 01 Februari 2024

Anies Baswedan dan Politik Identitas



Hari ini, setelah menghadapi realita getir di tempat kerja, saya berbisik dalam hati, "tidak seorang pun pantas dipercaya 100 persen.". Seolah beresonansi, saya berpikir, sepuluh tahun dari sekarang akankah saya akan menulis postingan sarat kekecewaan mendalam terhadap sosok Anies Baswedan, sebagaimana sudah saya lakukan terhadap sosok Jokowi? Well, tentu saja hanya jika beliau ditakdirkan menjadi orang nomor satu di negeri ini.

 

Saya sudah menetapkan pilihan capres pada pilpres tahun ini. Setelah sebelumnya berpendapat bahwa nama-nama yang muncul payah semua--bahkan saya masih masa bodo sekitar dua bulanan lalu--hari ini keputusan saya sudah bulat. Insya Allah saya akan menitipkan suara kecil saya untuk capres nomor satu yaitu Anies Baswedan tanggal 14 Februari 2024 mendatang. Dan kemungkinan juga akan memilih salah satu partai pengusung beliau.

Tak kenal maka tak sayang. Jujur, saya tidak tahu banyak soal Pak Anies sebelum ini. Saya bukan pemilik KTP ibukota. Saya tahu ingar-bingar pilkada Jakarta 2017. Dulu saya cukup ngefans dengan Ahok, namun tidak ada urgensi untuk membenci Anies sebagai rival beliau. Perihal insiden ayat Al-Maidah yang bikin kisruh satu negara itu pun saya dapat memahami perbedaan "dibohongi ayat" dan "dibohongi PAKAI ayat". Dan harus saya katakan, saya tidak suka FPI.

Perkara polarisasi dan tudingan politik identitas agaknya akan selalu mengiringi perjalanan politik Pak Anies. Sampai sekarang orang-orang masih ribut apakah Pak Anies terlibat langsung atau "sekadar" riding the wave alias taking advantage dari kisruh yang kembali meruncingkan isu SARA di tanah air. Jagat media sosial, terutamanya Twitter alias X, pun ramai kasak-kusuk ketika seorang diaspora yang mengidentifikasi diri sebagai dobel minoritas--beragama Kristen dan keturunan Cina--menulis surat terbuka tentang perasaan traumanya saat pilkada Jakarta 2017. Surat terbukanya bisa dibaca di sini

Saya ingat dulu ada aksi 212, lalu ada aksi lanjutannya sampai ada istilah 'alumni 212 segala'. Orang-orang berbondong-bondong ke Monas untuk mendesak pemidanaan Ahok dalam kasus penistaan agama. Lalu Jokowi hadir sambil berpayung, dan, saya masih ingat betul, seorang kakak saya membuat status fanart Jokowi berpayung tersebut di akun medsosnya. Kesan yang saya tangkap dari peristiwa itu adalah Jokowi berhasil memenangkan situasi yang awalnya diprediksi akan semakin memanaskan ibukota.

Pada saat itu memang banyak isu-isu ekstrim berbau SARA; tolak mensholati jenazah pendukung kubu sebelah, gantung Ahok, dan lainnya. Dulu juga ada aksi boikot Sari Roti yang membuat saya tidak simpatik. Ah, saya pasti nggak salah memaknai sikap abang saya yang ogah memakan stok roti tawar Sari Roti saya sewaktu dia menginap di rumah saya dulu. Abang saya ini, kalau boleh saya menilai, rasanya memang seorang simpatisan FPI. Atau paling sedikit, setuju dengan aksi 212.

Pada hari ini saya menyimpulkan, hal-hal terkait FPI dan inisiator aksi 212 tak lepas dari politik. Tapi ratusan ribu--jutaan kalau dari klaim penyelenggara--pesertanya adalah murni yang tak terima dengan mulut lamis Ahok.   

Hari ini, Anies masih dibayangi isu politik identitas. Ada yang bilang beliau adalah korban demonisasi alias pembunuhan karakter, mengingat rekam jejaknya ketika menjabat sebagai Gubernur Jakarta malah terlihat merangkul semua golongan. Sang diaspora di atas pernah mencuit bahwa Anies bukan orang di belakang layar aksi 212, tetapi Anies turut menunggangi gelombang aksi tersebut, bisa saja merupakan dua fakta yang sama-sama benar.

Pun bahwa warga keturunan tionghoa punya pengalaman traumatis pada perhelatan pilkada Jakarta 2017, dan keberadaan orang-orang menengah ke atas ibukota yang setuju penggusuran rakyat miskin di era Ahok, juga adalah dua fakta yang valid. Bahwa ada isu SARA adalah benar, namun isu kelas juga benar. 

Begitu juga dengan segelintir orang yang diam-diam menganggap kasus KM 50 pantas diterima FPI itu juga nyata adanya.

Mengutip kata-kata bijak Pramoedya Ananta Toer dalam buku Bumi Manusia, seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.


 

 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar