Kata orang bijak, traveling alias berkelana, akan membuatmu
menemukan dirimu sendiri. Dengan salah satu cara, traveling akan menuntunmu ke
jalan mengenal dirimu lebih dalam.
Setelah balik dari Bali, ya, gue merasa makin mengenal diri
gue sendiri. Gue jadi semakin paham bagaimana gue menyusun prioritas dalam
hidup. Dalam hal ini, bagaimana gue memutuskan untuk mengalokasikan uang gue.
Sejauh ini gue merasa jalan-jalan adalah sebuah kebutuhan.
Dalam beberapa bulan sekali gue merasa kepala gue pening, sering uring-uringan
dan ada desakan luar biasa untuk meninggalkan sejenak aktivitas rutin. Sesekali
gue merasa amat perlu berdiri sekian ratus atau ribu kilometer jauhnya dari
tempat biasanya gue menjalani rutinitas. Gue perlu menciptakan jarak sesekali.
Ada kebutuhan untuk menjadi stranger selama beberapa waktu di diri gue. Caranya?
Pergi ke tempat asing. Makanya gue juga nggak segan-segan pergi sendiri alias
solo traveling. Sesekali gue senang menjadi orang asing di tempat
antah-berantah. Sendirian. Sesekali gue pingin bebas dari gangguan isi kepala
orang lain.
Dalam satu postingan foto di akun instagram gue, gue pernah
menulis caption : "Bukan seorang backpacker, tidak juga mengaku seorang traveler.
Hanya seseorang yang berusaha menjaga kewarasannya dengan sesekali pergi main
keluar."
Itu benar adanya. Gue melipir sejenak sekadar menjaga mental
supaya tetap sehat (dan dapet foto-foto bagus buat instagram, of course. Hahahahaha).
Balik lagi ke soal mengenal diri sendiri. Ada sebuah quote
yang kira-kira isinya begini : collect moments, not things. Get it? Secara
singkat, kita diminta untuk pergi berkelana dan menciptakan kenangan, alih-alih
mengumpulkan segala macam benda-benda duniawi. Gue sih nggak 'kena-kena' amat
sama quote-nya, tapi belakangan gue merasa malah makin merepresentasikan quote tersebut.
Makin lama biaya traveling gue makin tinggi aja. Bukannya sengaja,
tergantung lagi pingin kemana sebetulnya, walau yaa destinasi impian gue
standarnya emang makin jauh (baca: makin mahal). Tapi entah kenapa, gue
rela-rela aja ngeluarin uang buat jalan-jalan. Sebaliknya, dari dulu gue cukup
perhitungan buat belanja baju, tas atau gadget. Gue punya patokan harga buat
sepotong baju. Bagi gue lewat sekian ratus ribu untuk sepotong baju, maka
itungannya udah mahal dan nggak usah dibeli, kecuali naksir abis. Begitu juga
buat urusan gadget, selama masih bisa dipake, selama masih memadai, ya nggak
ada urgensi sama sekali buat beli yang baru. Seandainya gue nggak jalan-jalan,
paling nggak yang dua terakhir, minimal hape android 3 jutaan udah ada di
tanganlah. Terbukti sampe sekarang gue masih pake BlackBerry Z10 hasil
lungsuran kakak gue. Begitulah ternyata gue menyusun prioritas; tanpa sengaja
ternyata gue lebih suka memenuhi benak gue dengan ingatan akan debur ombak dan birunya
langit, ketimbang menenteng hape mentereng.
Don't get me wrong. Gue nggak memaksa siapapun berpikiran
sama kayak gue. Nggak semua orang feeds their souls dengan pergi mendaki bukit
atau main-main di pantai. Ada yang lebih suka nge-mall, makan enak-enak dari
satu kafe ke kafe lain, atau sekedar baca buku di perpustakaan. Intinya,
manusia pinginnya bahagia, dan tiap orang punya cara masing-masing untuk merasa
begitu. Semuanya sah. Cara memenuhi kebutuhan batin tiap orang itu beda-beda.
Kalau seandainya bisa (someday I hope), gue pinginnya
mengoleksi kenangan tapi di saat yang sama punya hape mentereng (plus makan cheese cake sering-sering seperti foto di postingan kali ini, yeiy!). Hahaha,
amiiiiiinnnn. Tapi untuk sekarang, menghabiskan 2 - 3 juta buat jalan-jalan 5
hari ke Bali jauh lebih worth it buat gue ketimbang menghabiskan jumlah rupiah
yang sama untuk sebuah hape bagus. Begitulah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar