Rabu, 23 Agustus 2017

Spending Money




Kata orang bijak, traveling alias berkelana, akan membuatmu menemukan dirimu sendiri. Dengan salah satu cara, traveling akan menuntunmu ke jalan mengenal dirimu lebih dalam.


Setelah balik dari Bali, ya, gue merasa makin mengenal diri gue sendiri. Gue jadi semakin paham bagaimana gue menyusun prioritas dalam hidup. Dalam hal ini, bagaimana gue memutuskan untuk mengalokasikan uang gue.

Sejauh ini gue merasa jalan-jalan adalah sebuah kebutuhan. Dalam beberapa bulan sekali gue merasa kepala gue pening, sering uring-uringan dan ada desakan luar biasa untuk meninggalkan sejenak aktivitas rutin. Sesekali gue merasa amat perlu berdiri sekian ratus atau ribu kilometer jauhnya dari tempat biasanya gue menjalani rutinitas. Gue perlu menciptakan jarak sesekali. Ada kebutuhan untuk menjadi stranger selama beberapa waktu di diri gue. Caranya? Pergi ke tempat asing. Makanya gue juga nggak segan-segan pergi sendiri alias solo traveling. Sesekali gue senang menjadi orang asing di tempat antah-berantah. Sendirian. Sesekali gue pingin bebas dari gangguan isi kepala orang lain.

Dalam satu postingan foto di akun instagram gue, gue pernah menulis caption : "Bukan seorang backpacker, tidak juga mengaku seorang traveler. Hanya seseorang yang berusaha menjaga kewarasannya dengan sesekali pergi main keluar."

Itu benar adanya. Gue melipir sejenak sekadar menjaga mental supaya tetap sehat (dan dapet foto-foto bagus buat instagram, of course. Hahahahaha).

Balik lagi ke soal mengenal diri sendiri. Ada sebuah quote yang kira-kira isinya begini : collect moments, not things. Get it? Secara singkat, kita diminta untuk pergi berkelana dan menciptakan kenangan, alih-alih mengumpulkan segala macam benda-benda duniawi. Gue sih nggak 'kena-kena' amat sama quote-nya, tapi belakangan gue merasa malah makin merepresentasikan quote tersebut.

Makin lama biaya traveling gue makin tinggi aja. Bukannya sengaja, tergantung lagi pingin kemana sebetulnya, walau yaa destinasi impian gue standarnya emang makin jauh (baca: makin mahal). Tapi entah kenapa, gue rela-rela aja ngeluarin uang buat jalan-jalan. Sebaliknya, dari dulu gue cukup perhitungan buat belanja baju, tas atau gadget. Gue punya patokan harga buat sepotong baju. Bagi gue lewat sekian ratus ribu untuk sepotong baju, maka itungannya udah mahal dan nggak usah dibeli, kecuali naksir abis. Begitu juga buat urusan gadget, selama masih bisa dipake, selama masih memadai, ya nggak ada urgensi sama sekali buat beli yang baru. Seandainya gue nggak jalan-jalan, paling nggak yang dua terakhir, minimal hape android 3 jutaan udah ada di tanganlah. Terbukti sampe sekarang gue masih pake BlackBerry Z10 hasil lungsuran kakak gue. Begitulah ternyata gue menyusun prioritas; tanpa sengaja ternyata gue lebih suka memenuhi benak gue dengan ingatan akan debur ombak dan birunya langit, ketimbang menenteng hape mentereng.

Don't get me wrong. Gue nggak memaksa siapapun berpikiran sama kayak gue. Nggak semua orang feeds their souls dengan pergi mendaki bukit atau main-main di pantai. Ada yang lebih suka nge-mall, makan enak-enak dari satu kafe ke kafe lain, atau sekedar baca buku di perpustakaan. Intinya, manusia pinginnya bahagia, dan tiap orang punya cara masing-masing untuk merasa begitu. Semuanya sah. Cara memenuhi kebutuhan batin tiap orang itu beda-beda.

Kalau seandainya bisa (someday I hope), gue pinginnya mengoleksi kenangan tapi di saat yang sama punya hape mentereng (plus makan cheese cake sering-sering seperti foto di postingan kali ini, yeiy!). Hahaha, amiiiiiinnnn. Tapi untuk sekarang, menghabiskan 2 - 3 juta buat jalan-jalan 5 hari ke Bali jauh lebih worth it buat gue ketimbang menghabiskan jumlah rupiah yang sama untuk sebuah hape bagus. Begitulah. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar