Kamis, 12 Agustus 2021

Merevisi Makna Kesunyian

Saya selalu suka sendiri. Dalam arti sebenarnya; sendirian. Sebagai seorang introvert saya selalu butuh beberapa waktu untuk sendirian. Untuk mengisi daya, apalagi setelah berlama-lama di tengah keramaian. Tapi setelah ditinggal Mama--bahkan sampai genap satu bulan di hari ini--saya masih takut sendirian. Dalam arti denotatif dan kontotatif. Saya perlu merevisi makna kesunyian.


Waktu masih jaga Mama di RS bergantian dengan kakak, rupanya masih terselip kelegaan dan rasa syukur di dalam hati. A blessing in disguise, kata orang. Pelataran parkir yang luas dan posisi RS yang tidak terlalu mepet dengan jalan raya adalah penyebabnya. Saya menunggu di luar IGD--ruang terbuka yang lumayan luas. Untuk seseorang yang tinggal dan bekerja dibatasi tembok-tembok, dan belum lama baru pulang dari homestay bernuansa alam, bisa leluasa berada di luar ruangan adalah sebuah pelipur hati.

Saya bisa duduk di antara keluarga pasien lain--tentu dalam jarak aman--atau mondar-mandir ke mesjid atau minimarket. Untuk sesaat hidup saya tidak terjadwal sebagaimana biasa. Tapi anomali dalam beberapa hari tersebut tidak buruk juga. Kaki-kaki ini pun seakan dikuatkan oleh Sang Maha Kuat; tidak goyah meski dipakai hilir-mudik ke sana kemari. Dengan alunan suara Jorja Smith dari earphone, saya cukup 'terisi daya' oleh situasi sendirian di tengah ramai ini.

Oh, di hotel tempo hari saya juga suka menyetel "Runaway"-nya EXO keras-keras. Lagi-lagi di dalam hati terselip keinginan untuk pergi melipir menyendiri ketika semua momen depresif ini berlalu.

Saya selalu suka dan butuh sendirian. Di blog ini dan di blog film saya pun sering terselip curcol tentang betapa kehidupan yang saya inginkan adalah hidup soliter di tengah hutan.

Tapi itu sudah menjadi masa lalu. Setelah Mama pergi saya justru takut sendirian. Dalam arti denotatif dan konotatif. Sekarang hanya dengan membayangkan tempat-tempat pun hati saya langsung terjalar rasa dingin. Kering. Apapun, kemanapun, di manapun--semua terasa tak nyaman. Makna kesunyian tidak lagi sama. Dulu kesunyian adalah teman baik, sekarang ia identik dengan perasaan kesepian dan kesebatang-karaan. 

Gelap malam menjadi terlalu kelam. Gemerlap lampu tidak lagi menolong. Saya tidak lagi bisa menangkap rasa syahdu berkendara malam-malam sendirian di tengah kota penuh lampu. Pun tidak ada lagi destinasi wisata yang indah dan menggugah untuk dikunjungi. Bagaimana mungkin, rumah yang dulu diangan-angkan untuk ditinggali sendirian setidaknya dalam jangka satu tahun sebelum, mungkin, menikah dan punya anak, rasanya terlalu kosong dan sunyi. 

Setelah dipikir-pikir, saya hanya bisa menikmati kesendirian, kesunyian dan keheningan dengan melekatkan syarat dan ketentuan tertentu. Benar, term "Syarat & Ketentuan Berlaku" itu ada di pojok kanan bawah dalam ukuran huruf minimalis. Kamu mesti teliti; hanya karena matamu tidak cukup awas bukan berarti istilah itu tidak eksis. Dalam kasus hidup saya, syarat dan ketentuan itu berarti kesadaran bahwa orang-orang tersayang saya masih ada, hidup sehat dan aman--kalau terlilit masalah bokek itu biasa lah--di suatu tempat. Ketika seorang terkasih pergi, perubahan makna hal-hal yang dulu saya senangi pun tak terhindarkan.


*sudah satu bulan, Mam, tapi rasanya masih seperti mimpi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar