Sabtu, 14 Agustus 2021

Tentang Duka yang Tidak Tuntas



Terpantau empat kakak perempuan saya hari ini membuat status peringatan 1 bulan kepergian mama tersayang kami. Kontennya sejenis: bahwa mereka masih tak percaya bulan lalu di tanggal yang sama seperti hari ini, Mama pergi dengan cara yang amat menghancurkan hati. Wabah corona membuat duka kami tidak tuntas.

 

Delapan hari sebelum Mama pergi, ayahanda seorang teman lebih dulu berpulang. Teman saya bilang mula-mula ayahnya jatuh pingsan, antara sadar dan tidak sadar, sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit dan dinyatakan positif covid setelah tes antigen. Usai dia menyampaikan berita duka tersebut, saya pun meneruskan informasi ke teman kami yang lain. Saat itu saya belum tahu apakah almarhum akan dimakamkan dengan SOP covid atau tidak, mengingat ada keraguan dari pihak keluarga bahwa ayah mereka memang positif. Seya bilang kalau memang harus dimakamkan dengan protokoler covid, maka sedihnya pasti luar biasa untuk keluarga yang ditinggalkan.

Beberapa hari sebelumnya saya baru aja membaca thread pilu di Twitter tentang bagaimana wabah corona ini telah mengubah cara kita berduka. Jangankan untuk menggelar pengajian atau tahlilan, memandikan almarhum pun tidak akan bisa. Jangankan men-talqin kalimat syahadat Laa Ilaaha Illa Allah, berdiri di samping almarhum di saat-saat terakhir pun tidak akan bisa. Wabah yang sangat menular ini membuat duka kita tidak tuntas.

Namun siapa sangka, di saat teman saya itu rupanya masih sempat mengajukan empat saudaranya untuk memandikan sang ayahanda (dengan hazmat lengkap) dan sempat pula mengadakan tahlilan di rumah (walau entah apakah almarhum sempat dibawa ke rumah dulu atau langsung dimakamkan), keluarga saya yang justru harus menerima kenyataan bahwa kami harus melepas kepergian orang tersayang kami dalam SOP covid.

Tidak bisa menemani. Tidak bisa menggenggam tangannya untuk terakhir kali. Hanya satu orang dari keluarga yang boleh ikut memandikan, enam lainnya tidak boleh. Ah, abang saya bahkan tersekat di Pekanbaru sana; tidak bisa datang ke Tangerang karena syarat-syarat rumit untuk naik pesawat. Padahal tiga tahun lalu ketika Papa pergi, abang saya itu naik pesawat paling pagi dan masih sempat terlibat di semua urusan pemakaman. 

Saya pikir itu yang membuat saya—kami bertujuh—sedih berlarut-larut. Setelah lewat satu bulan, luka kehilangan kami masih basah. Di bulan-bulan berikutnya, kami mungkin masih akan seperti ini; menangis di dalam hati setiap tanggal 14. Wabah ini membuat duka kami tidak tuntas.

Semalam saya ngobrol dengan kakak saya si nomor 6. Ia yang di dini hari menyedihkan itu sempat histeris sampai kaku sebadan-badan selama hampir dua jam, berkoar dengan nada marah; masih tak terima mama kami pergi secepat dan dengan cara ini. Ia menyalahkan nakes dan rumah sakit; untuk hal ini saya berdebat panjang tentang kepada siapa kami seharusnya mengarahkan amarah. Saya bilang, bukan nakes atau rumah sakit, negara-lah yang harus bertanggung jawab atas hilangnya nyawa seratus ribu lebih di negeri ini akibat wabah.

Satu hal yang paling saya sesalkan dan meninggalkan kesedihan yang dalam adalah kenyataan bahwa Mama harus berjuang sendirian di rumah sakit. Selama dua minggu beliau sendirian; selalu dan selalu minta pulang sampai sering mengamuk menarik-narik kabel ventilator. Kenyataan ini membuat saya marah karena saya tahu betul Mama selalu ingin berada di tengah anak dan cucu.

Beliau selalu bilang tidak betah berlama-lama di Kubang karena tidak cocok dengan hawanya yang dingin. Beliau bilang sejak muda sudah merantau meninggalkan kampung, jadi tidak merasa cocok berlama-lama di sana. Tapi saya selalu curiga, bukan soal hawa dingin atau apa, Mama hanya tidak suka berlama-lama berjauhan dengan anak-cucu. Beliau pernah bercerita, jika sedang menginap di rumah seorang kakak, beliau akan merindukan cucunya yang lain. Hawa dingin hanya alasan mama saya saja.

Betapa ironis.

Saya—kami bertujuh—tidak bisa tidak, bersedih berlarut-larut. Kami anak-anak yang apa-apanya Mama. Hati terasa sesak, setelah belasan hari tidak bertemu, kami hanya mendapati peti kayu di depan mata. Entah mana yang lebih memilukan; saya dan kelima kakak perempuan saya yang bisa ramai-ramai mengantar Mama ke tempat pembaringan terakhir tapi hanya bisa melihat petinya saja, atau abang saya yang jelas-jelas jauh tersekat di Pekanbaru sana.

Mungkin kami semua jemawa. Mama adalah kebanggan kami semua, sampai yakin seratus persen bahwa beliau akan lolos dari penyakit apapun. Selagi muda Mama pernah sakit paru-paru basah, dan menurut kakak saya, sudah sampai di tahap didoakan. Tapi toh Mama bertahan sampai punya 7 anak dan belasan cucu. Saya sendiri adalah saksi bagaimana Mama sakit kaki sampai sulit jalan tapi akhirnya beliau bisa pulih kembali. Beberapa tahun lalu pun Mama sempat terkena struk ringan dan sudah di tahap bibirnya miring, tapi kemudian beliau sehat kembali. Saya selalu bilang di depan teman-teman saya, dengan nada bangga, Mama saya punya semangat hidup yang tinggi. Pun ketika awal-awal di rumah sakit beliau masih mengomel seperti biasa; tentang tanaman yang harus disiram, tentang kamarnya yang tidak boleh berantakan--you know, saya mendefinisikan keadaan normal dan baik-baik saja jikalau beliau mengomel tentang kerapian rumah.

Beliau adalah kebanggan kami semua. Tumpuan kasih sayang. Beberapa dari kami bisa dibilang adalah bucinnya Mama. Apa-apanya Mama, apa-apanya Mama. Cara kehilangan seperti ini terasa begitu berat. Entah butuh berapa lama untuk kami berdamai dengan keadaan.

Ironis.

Tragis.

Biasanya tragedi hanya bisa dilihat di TV. Jauh. Terjadi pada orang lain.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar