Selasa, 17 Agustus 2021

Tentang Sebuah Virus Menyebalkan



Saya tidak sedang merasa bangga menjadi orang Indonesia. Bahkan saya tidak ingat kapan terakhir kali berbahagia menjadi WNI dan punya e-KTP yang masih harus difotokopi untuk mengurus surat-surat itu di dalam dompet. Entah, mungkin saat Greysia - Apriyani berhasil meraih medali emas Olimpiade beberapa waktu lalu?


Bulan Juni dan Juli 2021 lalu kasus covid meledak di Indonesia. Kalau dulu kita semua hanya mendengar atau membaca berita orang-orang yang terinfeksi melalui medsos atau portal berita, di dua bulan itu rasanya setiap orang punya keluarga/kerabat/sahabat/teman/kenalan yang harus isoman, dirawat di rumah sakit, dan bahkan sampai meninggal. Netizen ramai membahas sirine ambulans yang tak henti meraung di jalanan; dari yang miris sampai yang curiga ambulans sengaja berputar-putar untuk menakuti. Sebuah akun bercentang biru bahkan mengaku menyimpan beberapa stiker Whatsapp ucapan innalillahi saking bertubi-tubinya kabar duka. 

Saya, dengan sangat menyesakkan, tidak saja menjadi bagian yang mengucapkan innalillahi ke keluarga orang lain, namun juga menjadi pihak yang diberi ucapan tersebut.

Dari sekian banyak ucapan turut berduka cita; dari yang standar dan bahkan copas, sampai yang effort agar lebih terdengar tulus, saya paling merasa aneh dengan ucapan, "semangat ya.". Well, how can I? But no, saya tidak sedang ingin menulis tentang toxic positivity atau apalah. Ucapan copas pun tidak mau saya ambil pusing; cukuplah orang-orang menunjukkan kesopanan, mau mengharap apa lagi? Pada akhirnya duka hanya milik keluarga terdekat. Pun, mengingat derasnya berita duka dalam rentang Juni - Juli, banyak orang yang mengaku overwhelmed sampai mati rasa sendiri. Mengirim stiker WA innalillahi pun sudah tergolong effort.

Tapi, rupanya ada yang lebih aneh lagi. Seorang kawan yang sudah lama tak bertemu, menanggapi status via WA saya dan lantas bertanya, apakah Mama pergi karena virus menyebalkan itu?

Aneh. Seseorang tidak kehilangan nyawa hanya karena perbuatan menyebalkan, kan? Seratus ribu orang tidak wafat jika virus yang menjangkiti mereka sekadar menyebalkan, bukan?

Tidak, saya juga tidak ingin menghujat pernyataan belasungkawa yang ini. Sekali lagi, saya menghargai setiap ungkapan turut berduka cita bagaimanapun formatnya. Semua orang sedang kewalahan.

Saya hanya jadi berpikir, memang harus bagaimana si virus corona ini? Virus hanyalah virus. Kodrat mereka adalah mencari inang dan bermutasi sebanyak-banyaknya. Mau mengharapkan apa lagi dari segumpal mikroorganisme yang diselubungi protein ini?

Virus hanyalah virus. Pada akhirnya manusia yang harus mencari cara berikhtiar agar wabah terkendali. Dalam kasus wabah besar, pemangku kebijakanlah yang menjadi garda terdepan penentu arah penanganan. Kasus positif yang melonjak adalah keniscayaan dalam kondisi wabah menular, tapi para pemangku kebijakan ini harus meminimalisir angka kematian. Dan tentu bukan dengan mengutak-atik definisi kematian covid.

Bukan, bukan masalah menentang takdir. Ini masalah ikhtiar skala nasional. Tentunya negara harus bisa mengintervensi masalah ini. Bukankah kita sudah tahu virus ini menyerang sistem pernapasan manusia, hingga sudah sewajarnya negara bersiap-siap dengan stok dan penyediaan oksigen? Langkah antisipatif bahkan bisa dilakukan dengan tidak membiarkan warga asing, yang disinyalir sebagai awal masuknya  varian delta, masuk ke Indonesia!

Jadi, mohon maaf, saya tidak sedang berbangga menjadi Indonesia. Saya adalah korban ketidakseriusan penanganan wabah di negeri ini hingga harus kehilangan orang yang paling saya sayangi.  Saya tidak bangga menjadi bagian dari negara yang ruwet dengan istilah pembatasan gerak manusia demi menghindari UU Karantina Wilayah. Saya sedang tidak bangga menjadi warga negara yang paranoid terhadap mural. Saya tidak bangga menjadi warga negara yang politikusnya tidak punya empati dan agendanya politis semua.

Saya malah masih menggebu untuk ambil bagian gerakan class action untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas kerusakan dan kehilangan yang seharusnya mereka bisa kendalikan.



*gambar saya ambil dari berita Kompas.com: "Bendera Dikibarkan Setengah Tiang di RSUD Tarakan, Plt Direktur Minta Maaf"



Tidak ada komentar:

Posting Komentar