Rabu, 04 Agustus 2021

Tentang Perkara Sebentar dan Lama



Waktu yang tepat untuk menulis ini; tentang 3 minggu yang sudah terlewat, tentang 3 minggu yang seakan terjadi 3 tahun yang lalu padahal baru berlangsung 3 minggu yang lalu, dan tentang 33 tahun yang terasa amat sebentar. Ini tentang makna "sebentar" dan "lama" yang tak bisa lepas dari konteks peristiwa. 


Tiga minggu yang lalu, Mama pergi. Manusia yang paling saya sayangi. Empat belas Juli pukul 04.10 pagi, semua harapan seakan putus dan runtuh. Beliau pergi setelah berjuang di rumah sakit selama 3 minggu. Dimulai tanggal 22 Juni, sampai akhirnya Sang Pemilik meminta milik-Nya dikembalikan.

Tiga minggu di rumah sakit dengan segala hal yang berubah seketika. Saya dan seorang kakak masih sempat menemani hingga sekitar 9 hari pertama; terakhir bertepatan dengan ulang tahun beliau ke-72 di tanggal 30 Juni 2021.

Sungguh banyak yang terjadi dalam jangka waktu 3 minggu tersebut. Saya sempat menginap di ruang IGD, sempat extend berkali-kali di hotel kawasan Aeropolis demi memisahkan diri dari keluarga yang positif covid serumah, sempat berkeliling mencari kos/kontrakan, sempat bolak-balik mengantar keponakan untuk tes antigen, sempat pulang-pergi ke PMI Cibinong untuk menjemput plasma konvalesen--sempat merasa hidup betul-betul berantakan ketika diri sendiri dinyatakan positif covid pula. Kejadiannya baru di akhir Juni, tapi entah mengapa terasa begitu jauh, seakan terjadi 3 tahun lalu.

Perkaranya mesti karena 3 minggu tersebut diwarnai perasaan frustasi. Penuh ketidakpastian; alarm HP disetel setiap 1 atau 2 jam kalau-kalau ada berita teranyar dari jajaran nakes di Covicu (Covid ICU) via WA. Setiap hari menyusuri jalanan RS - rumah untuk membawa makanan atau kaos kaki, dan tetap hanya bisa sampai di luar dinding ICU. Malam-malam berkendara, sering kali dengan air mata mengucur yang tidak bisa ditahan. Ketika beliau pergi pun keluarga tidak bisa menggenggam tangannya untuk terakhir kali. Penderitaan yang mendera yang membuat 3 minggu lalu terasa bak 3 tahun lalu.

Tapi, jika boleh memilih, saya rela masih terpenjara dalam situasi harap cemas tersebut asalkan beliau masih ada.




Dalam tiga minggu setelah hari patah hati tersebut, saya masih berpikir-pikir, ah, masih enak kakak-kakak saya; mereka punya 2 sampai 12 tahun lebih lama bersama Mama. Saya yang paling sebentar memiliki beliau. Tiga puluh tiga tahun terlalu sebentar untuk menjalani peran sebagai anak. Padahal sekalipun umur saya 72, saya masih akan butuh sosok Mama.

Betapa makna "sebentar" dan "lama" terikat erat dengan konteks peristiwa. Tiga minggu ini masih terasa seperti mimpi. Mungkin saya sendiri yang masih menolak kenyataan. Bagaimana tidak, setiap pagi terbangun dengan kesadaran bahwa di masa depan hidup saya harus dijalani tanpa beliau.

Mam, there's not a single day that I don't think of you..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar