Sulit untuk menulis sesuatu yang informatif tentang acara jalan-jalan gue di Sumatera Barat kali ini. Terutama mengenai transportasi untuk mencapai lokasi wisata. Sejak awal orangtua gue udah mendoktrin bahwa transportasi umum di kampung ga seperti di Jakarta. Kemudahan adalah sebuah keniscayaan. Jangan bermimpi pergi ke sebuah terminal dan berharap bisa menemukan bis ke mana saja; seperti yang selalu gue lakukan di Jakarta.
Jadi setelah berunding lama dengan orangtua gue tentang rencana hari itu dan besoknya, serta kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa aja muncul, tanggal 15 Januari 2015, gue dan ortu berangkat dari kampung gue di Nagari Kubang. Kita nunggu angkot di depan Simpang Singkuang. Gue kasih tau rahasia kecil: ada banyak simpang di Sumatera Barat. Artinya pertigaan atau perempatan, tapi orang sana lebih senang menyebutnya simpang, kependekan dari persimpangan.
Kita naik angkot tipe mobil colt putih tujuan Payakumbuh. Turunnya di simpang juga, tapi lupa namanya apa. Yang jelas abis itu kita naik mobil colt putih lain yang menuju Lembah Harau. Nyokap tanya ke sopirnya apa bisa nganter sampai ke tempat rekreasinya. Singkat cerita, kesepakatan terjadi.
Yang Putih |
Dari gerbang masuk yang ada tulisan Selamat Datang, masuk ke wilayah wisatanya jauh. Sepanjang jalan nyokap terus bilang betapa tempat itu sudah banyak berubah, sudah banyak rumah warga. Dan di sepanjang jalan juga kamu akan disuguhi bentangan tebing-tebing tinggi menjulang. Mayoritas berwarna kemerahan. Bentuknya lurus ke atas. Lalu di kakinya terbentang sawah yang menghijau.
Tebing Kemerahan |
Tujuan utama di Lembah Harau jelas air terjun yang katanya ada 7. Tapi saat itu gue cuma liat 2 air terjun besar dan satu yang kecil. Dan ketiganya jatuh dari tempat yang tinggi banget. Saking tingginya susah untuk memotret objek air terjun dalam gambaran utuhnya-dari puncak sampai dasar-dengan ada kita berpose juga di foto tersebut. Dengan sedikit pengetahuan mungkin bisa, tapi harus diakui "taste" memotret bukan wilayah gue. Plus di sekitar air tejun banyak warung-warung kayu berdiri. Terpal mereka menghalangi cakupan wilayah memotret. Terus terang jadi mengurangi keindahan. Juga mengurangi kelestarian karena sampah plastik yang berserak.
Puncak Air Terjun |
Air Terjun Pertama |
Dikepung Warung dan Sampahnya |
Toko Souvenir Di Depan Jalur Masuk ke Air Terjun |
Waktu gue dateng itu hari Kamis. Tapi lumayan banyak pengunjung yang dateng. Yang niat motret biasanya di air terjun yang agak lebih ke dalam. Di situ air jatuh ke dasar tanah berbatu-batu yang masih alami. Beda sama air terjun di depan yang lebih besar. Dasarnya udah disemen, membentuk sebuah kolam. Dan air terjun yang masih alami ini bisa bikin kita basah kuyup walau ga berdiri di bawah airnya loh. Soalnya airnya kebawa angin dan nyemprot kemana-mana. Termasuk ke kamera DSLR gue. Pas di situ gue jadi lebih manfaatin kamera HP. Maklum DSLR-nya boleh minjem, takut kenapa-kenapa. Haha!
Masih Alami |
Asyiknya di situ kalau kita main-main air. Airnya jernih dan dingin. Karena jatuh di tempat yang tinggi banget, bunyi jatuhnya air bakal terdengar jelas. Sayangnya gue, akibat itinerary yang belum pasti, gue ga siap dengan baju ganti. Jadilah gue di sana cuma sebatas nyemplungin kaki ke air.
Berdiri di situ serasa disergap tebing. Kemana melempar pandangan, di situ bakal terlihat tebing dan tebing. Seperti perasaan gue waktu ke Bukit Songgeng, gue juga merasa kepingin merintis jalan hingga ke puncaknya. Maybe, next time?
BTW belakangan gue tau kalau untuk ke sana kita bakal dipungut biaya masuk. Kalau ga salah sekitar Rp 15.000. Tapi karena yang nyopirin kita orang situ jadi ga bayar deh. Hahaha. Lumayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar