Minggu, 21 Agustus 2022

Tentang Hal-hal Terbaik


Ada satu dialog di serial Squid Game yang cukup membekas buat saya. Ketika sedang memainkan permainan permen dalgona, seorang peserta mengeluh frustasi sambil menodongkan pistol ke seorang penjaga, "beberapa orang dapat yang mudah, sedangkan yang lain dapat yang susah.". Well, tidakkah terdengar seperti hidup ini?


Saya selalu merasa bahwa saya adalah seorang medioker. Saya bukan tipe ambisius yang menetapkan target dalam hal pencapaian pribadi. Saya cukup andal bertahan hidup dari hasil jerih payah sendiri, namun bukan tipe yang berpikir ingin menjalaninya sebagai si nomor satu. Saya asumsikan saya adalah manusia tahu diri; seseorang yang mampu mengukur kapasitas dan kapabilitas sendiri. Saya tidak datang dari keluarga ber-privilegetidak secara harta maupun tampang—juga tidak keluar sebagai lulusan kampus ternama; atas semua itu saya sadar tentang hal-hal apa saja yang terjangkau oleh tangan saya.

Jangan katakan semua orang pasti bisa berada di puncak asal mau berusaha. Well, saya tidak menjadi setua ini untuk masih memiliki mindset naif seperti itu. 

 


 

Tidak ada yang salah menjadi seorang medioker, kata mereka. Dan juga kata saya. Saya meyakininya. Tidak semua orang ingin keluar dari zona nyamannya atau berjudi dengan taruhan besar. Tidak semua orang bersedia bersusah-payah mengusahakan sesuatu. Pun tidak semua orang memiliki hal besar yang bisa dipertaruhkan.

Itu saya. Si medioker.

Namun, beberapa hari belakangan ini, ada satu hal yang membuat saya berpikir tentang hal-hal terbaik. Atau paling tidak LEBIH BAIK. Kali ini saya tidak ingin hal-hal di pertengahan.

Saya membicarakan soal uang. Soal harta. Soal tingkat ekonomi yang lebih baik. Saya mengaitkannya dengan perihal jodoh—untuk pertama kalinya menjadi pertimbangan pertama dalam memilih. Orangnya belum ada. Disebut calon pun belum pantas. Hanya saja dari satu biodata seorang lelaki—yang mengindikasikan taraf hidupnya yang berkecukupan—saya jadi memikirkan hal ini.

Saya lantas memikirkan betapa selama ini saya tidak leluasa untuk memilih hal terbaik. Ambil contoh soal celana jeans. Saya banyak melihat jenis yang sempurna membungkus kaki di display toko. Tapi saya tidak mengambil si jeans sempurna ini karena pertimbangan harga. Jeans sempurna umumnya dihargai hampir satu juta sehelai; jelas tidak masuk bujet belanja pakaian saya. Pada akhirnya saya membeli jeans biasa yang harganya masih masuk di kantong saya. Kualitasnya? Tidak jelek, hanya saja sering membuat saya kecewa karena tidak "jatuh" di kaki saya seperti yang saya inginkan.

 

 

Lalu kemarin di Twitter ada yang membahas tentang kedai teh yang menawarkan varian teh yang cukup lengkap. Hanya membahas teh, tapi membuat saya berpikir lebih jauh "tentang hal-hal terbaik". Lagi-lagi kasusnya adalah bahwa saya tidak leluasa menjelajah demi mendapat sesuatu yang paling saya sukai. Atau setidaknya mencicip demi pengalaman baru. Tidak bisa. Tidak ada bujetnya.

Perihal makanan atau minuman saya tidak tahu yang mana yang paling enak dari tiap-tiap merk. Saya tidak fasih membandingkan ayam tepung mana yang paling enak: KFC, Mc Donald, Burger King atau AW? Saya tidak sering-sering amat mencicip makanan di resto-resto siap saji ini gegara perkara harganya yang tidak termasuk murah di kantong saya. Saya hanya makan sesekali kalau sedang keluar atau kalau sedang ingin. Paling jauh saya bisa bilang saya paling suka cheese burger BK dan es krim sundae Mc Donald.

 


Kamu lihat gambar sepatu yang menjadi gambar utama postingan ini? Kurang lebih saya memakainya sehari-hari di kantor selama empat tahun—dan sepertinya masih akan berlanjut. Lalu jam tangan merk Casio di atas paling tidak sudah saya pakai tiga tahun. Saya sering berpikir saya terbebani jika punya banyak sepatu, tas atau jam tangan. Mubazir. Saya mungkin akan merasa bersalah jika barang-barang tersebut tidak sering saya pakai. Satu benda yang paling membuat saya terganggu adalah dompet baru; rasanya seolah saya terlalu hedon jika ganti dompet padahal yang lama masih bisa dipakai; sobek-sobek sedikit tak apalah.

Sebetulnya, saya ingin memuji diri sendiri dengan mengatakan bahwa gaya hidup saya sudah bagus. Saya tidak konsumtif. Tapi sekarang saya sedang berpikir mindset seperti ini tak lepas dari "gaya hidup" pas-pasan yang saya jalani selama ini. Saya tipe yang berpikir berkali-kali hanya untuk check out sepasang sepatu di Tokped. Beberapa hari lalu saya bahkan bilang ke seorang temandalam nada bercanda tentu saja—sampai sekarang teflon saja belum terbeli. Ah, jaket anti angin yang sudah lama masuk keranjang pun belum terbeli juga. Padahal butuh mengingat mobilitas saya yang cukup tinggi.

 


 

Saya menjanjikan pada diri sendiri bahwa saya akan menghadiahkan sepasang sepatu loafers baru kalau sudah dapat pekerjaan baru. Ah, tidak, dapat atau tidaknya pekerjaan baru, bulan depan atau dua bulan lagi pasti saya akan beli. Saya layak mendapatkannya. Bisa dilihat sendiri sepatu saya itu sudah lumayan parah kondisinya. Tapi, ada tapinya, tunggu sampai barang yang saya mau restock lagi. Karena, lagi-lagi, saya tidak leluasa menjelajah merk lainnya karena pertimbangan harga. Sepatu yang saya mau sudah cukup oke kok.

Jadi, saya suka menjadi si pertengahan atau hidup yang memaksa membuat saya begini? 

Saya jadi berpikir, apakah ini alasannya mengapa saya seakan tidak pernah merasa bahagia—karena tidak pernah memberikan hal-hal terbaik untuk diri sendiri? Saya tidak pelit kepada diri sendiri, tapi tidak juga—saya sadari sekarang—cukup murah hati.

Tentu saya tidak sengsara dan melarat. Alhamdulilah kebutuhan primer seperti sandang, pangan dan papan masih terpenuhi. Dan ya, saya bisa bilang saya sudah traveling cukup jauh mengelilingi penjuru negeri ini. Saya sesekali memenuhi kebutuhan sekunder untuk menyenangkan diri sendiri.

Tapi tiba-tiba saya merasa lelah dan muak mengingat betapa banyak momen "mesti hemat-hemat" di hidup saya. Saat ini pun begitu; tiap hari dihantui fakta bahwa mulai tahun depan cicilan rumah saya bakal mengikuti suku bunga bank. Karena itu, jika ada kesempatan berpenghasilan lebih baik atau jika ada seorang lelaki yang mampu menawarkan taraf hidup yang lebih baik, saya tidak akan menyia-nyiakannya dan mencoba berkompromi tentang kondisi lainnya. Tidak perlu tajir melintir; menjadi kaum menengah di negeri ini pun sudah bisa hidup enak dan leluasa. Pun saya tidak berniat untuk hidup hedon dan konsumtif di masa depan, hanya ingin lebih leluasa memilih hal-hal terbaik dari yang saya sukai.

Kata seorang teman, sana minta jodoh yang spesifik sama Allah! Dan ya, kali ini saya tahu spesifikasi jodoh macam apa yang akan saya mohonkan di hadapan Sang Pemberi.    

2 komentar:

  1. Aku merasa mirip dengan mbaknya.. jadi aku nyaman mampir baca-baca disini. Nggak papa ya.. blog ini jadi salah satu penghiburku.. Semoga mbk Novia selalu diberi kelancaran... Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, terima kasih sudah baca postingan saya lagi. Senang sekali mendengar tulisan saya menjadi hiburan orang lain. Enjoy blog walking!

      Hapus