Minggu, 22 Februari 2015

Dia yang Kamu Cinta dan Mencintaimu di Nagari


Berbahagialah kamu yang masih memiliki kampung halaman. Dan bersyukurlah kamu yang masih memiliki dia yang kamu cinta dan mencintaimu di kampung halaman.


Kawan, sudah berapa lama tak kau tengok Nagari-mu? Seperti aku kah, yang tak pulang lebih dari 17 tahun lamanya? Lalu ketika akhirnya pulang, tersaruk-saruk mengumpulkan serpihan kenangan dalam ingatan yang tumpul.

Di dunia ini mungkin tak ada sekumpulan manusia seperti kita. Bagi kita, merantau adalah budaya, bahkan suatu kewajiban! Merantau sudah mendarah daging di raga kita, bahkan meskipun kemerataan pembangunan bukan hanya materi kampanye pilpres di negeri ini, urang awak akan tetap berpencar ke segala penjuru dunia.

Raso maimbau-imbau den pulang...

Terpanggilkah kamu untuk berkunjung ke Nagari-mu? Adakah dia yang kamu cinta dan mencintaimu di sana? Amai? Apak? Enek? Atuk? Ataukah semua sudah terangkut ke negeri lain?

Maka memang aku beruntung masih memiliki mereka yang kucinta dan mencintaiku nun jauh di Nagari bernama Kubang. Kakak perempuan ibuku dan suaminya masih ada di sana. Amak dan Apak, demikian kupanggil mereka.

Lalu ketika kembali ke rumah di Tanah Jawa, kurasakan, betapapun aku tak lahir di Nagari, betapapun acara pulang kampung nan singkat baru 3 kali kulakoni-kampung halaman demikian mengikat.

Kampung halaman adalah tentang ikatan.

Samar-samar aku teringat dia yang suka duduk berlama-lama di balik jendela. Dia senang duduk di atas kursi kayu di balik jendela itu, memandang dalam diam ke kolam ikan yang berair hijau di luar. Rasanya rindu menyergap. Tapi pedih juga mengungkung. Karena Atuk-ku terlihat di dekat jendela itu hanya ketika aku mengaktifkan modul kenangan pada sel-sel mataku.

Kawan, masih punyakah kau sebuah rumah di Nagari yang membuatmu tersadar di situlah identitasmu berawal? Rumah nenekmu-karena kita menarik garis keturunan berdasarkan ibu-yang aromanya masih seperti dulu? Kursinya masih yang dulu? Sofanya masih yang berwarna coklat seperti dulu? Parutan kelapa dan pemeras santan yang masih ada di dapur? Sakelar lampu masih model lama? Semua itu adalah bukti bahwa nenek kita memang pernah ada, mondar-mandir di setiap sudut rumah, membeli perabotan rumah yang paling baik, dan, yang terpenting, menandaskan bahwa di situlah sebuah marga bertempat tinggal.

Kawan, apa nama margamu? Margaku Pitopang. Sewaktu tanteku mengantarku naik angkutan dari Kota Padang, ia berkata pada sopirnya untuk menurunkan aku di simpang Pitopang. Adakah keluarga kami yang bermarga Pitopang ini sudah terkenal? Orang sekampung mungkin tahu letak rumah keluarga Pitopang, tapi  sopir angkutan yang entah di mana tinggalnya? Entahlah, Kawan. Aku sendiri tergelitik mendengar arahan tanteku itu.

Nagari Kubang mungkin seperti Nagari-Nagari lain di seluruh Ranah Minang. Tengoklah, siapa yang berdiam di sana? Para manula! Mereka mayoritas di simpang-simpang yang semakin sepi. Sebagian besar pernah ke Jakarta, karena anaknya si A tinggal di Cengkareng dan si B di Kalimalang. Atau paling tidak anaknya tinggal di Pekanbaru, atau Dumai, atau Batam.

Udara memang nikmat di sana; segar, tak terlalu dingin menggigit. Hidup panjang umur dengan udara sebersih di sana bukan mustahil. Mereka bahkan bukan hanya sehat, tapi juga tampak kuat. Mereka hidup mandiri di rumah tua mereka. Mereka memasak, mencuci, dan membersihkan rumah sendiri. Mereka juga masih bersepeda ke surau. Sesekali mereka mengeluh sakit kaki, sakit sendi-penyakit orangtua. Tapi hanya itu. Mereka akan tetap melakukan rutinitas seperti biasa.

Tapi dalamnya lautan siapa bisa mengira? Penampakan Sumateran memang kokoh dan keras. Tapi, mari sedikit curiga, hati seperti apakah di balik sosok mandiri itu? Adakah rindu yang merapuhkan dinding hati di balik sosok itu? Hei orang terkasih di perantauan, menelponlah pulang!

Tapi pedih lagi-lagi menghantam ketika kupikir... mana yang paling membuat sedih kerabatku: aku yang tak pernah pulang, atau pulang 2 minggu lalu pergi lagi? Seakan-akan mereka bisa didatangi lalu ditinggal pergi lagi begitu saja semau kita. Ketika beberapa saat kita saling merangkul, lalu esoknya salah seorang harus melihat punggung yang lain menjauh pergi-jahatkah aku?

Jika aku bisa, tapi tampaknya aku memang tidak bisa. Aku terlalu muda untuk memilih hidup tenang dan damai di Nagari Kubang yang sederhana dan bebas polusi. Aku justru harus mempongahkan diri di depan dunia yang sombong! Mungkin nanti. Kelak. Ketika aku telah sesenja mereka yang kucinta dan mencintaiku di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar