Sekian tahun dari sekarang, jika keadaannya begini terus,
saya rasa Pekanbaru akan menyamai Jakarta. Bukan soal modernitasnya, tapi
kesumpekannya. Aw aw aw!
Jadi karena abang saya sejak lama bermukim di Pekanbaru, tiap
mau pulang kampung pasti via Pekanbaru. Sama aja sih sebenernya, jarak antara
Bandara di Padang ke Kubang, dengan Pekanbaru ke Kubang; kurang lebih 5 jam
perjalanan. Tapi ya begitulah semua ini diatur :p
Kata Mbah Google, Pekanbaru itu kota bisnis. Ya memang di
sana banyak yang manggaleh (dagang). Sepanjang jalan-jalan raya ada aja yang
jualan. Entah kedai makan, toko roti, foto dan macam-macam. Dan meskipun
dibilangnya Riau itu negeri Melayu, nuansa Melayu nyaris tak terasa di
Pekanbaru. Palingan bentuk atap yang bagian atasnya menyilang di kantor-kantor
pemerintahan dan DPRD.
Coba deh tanya ke penduduk Pekanbaru, kalau mau berwisata di
kota ini kemana ya? Jawabannya kemungkinan, "apa ya? Ga ada." Malahan
di seluruh Riau, hampir-hampir ga ada yang "wiiihh" buat dikunjungi.
Dan ga ada pula oleh-oleh khas, baik berupa makanan atau kerajinan lokal.
Terus terang, selama kurang lebih seminggu di Pekanbaru
(separo sebelum ke Kubang, separo setelah dari Kubang) saya merasa rada bete. Bagian
terbesar kedongkolan saya karena abang saya men-delay keberangkatan ke Kubang.
Jadi ngambek deh akuh! Hehehe. Abisnya, wong warganya sendiri bilang kotanya
nggak punya apa-apa kok. Jadi gimana saya yang pendatang ini excited sama
Pekanbaru kalau udah dapet statement kayak gitu dari penduduknya sendiri?
Kamu mungkin tahu, secara rutin setiap tahun, media nasional
akan memberitakan kepungan asap di wilayah Provinsi Riau, yang ujung-ujungnya
bakal diprotes Negara Tetangga gegara ikut kebagian kabutnya. Kebakaran... atau
mungkin lebih pas disebut pembakaran hutan adalah sejarah yang terus berulang
di Riau. Orang-orang tamak membakar hutan untuk dialihfungsikan jadi kebun
sawit. Kamu mungkin juga tahu Gubernurnya yang udah uzur tertangkap tangan oleh
KPK saat menerima suap terkait urusan hutan ini.
Waktu saya lewat di Jalan Lintas Sumbar-Riau, saya dibikin
terkagum-kagum dengan lebatnya hutan di kawasan yang masih Kepri. Di beberapa titik
memang ada tebing kemerahan tergerus atau bukit gundul yang jadi penyebab
longsor, tapi saya tetap terpana. Dan saya membayangkan andai Riau tetap hutan,
tetap rawa, tetap kampung, tetap bukit... ah, betapa indahnya. Ga perlu lah
sok-sok bermodern ria. Ga usah terlalu mengejar apa itu yang namanya industri.
Kesejahteraan toh ga nampak di sana. Yang ada malah apes dapet pemimpin oportunis.
Yang ada tiap tahun kena ISPA akibat asap.
Barangkali Pekanbaru memang niat jadi kota besar, lagi canggih.
Tengoklah kantor gubernurnya yang tinggi dan megah (apa sih yang diurus sampe
harus bergedung tinggi begitu?). Atau gedung yang ga kalah hip di sebelahnya,
Perpustakaan Soeman HS yang katanya perpustakaan terbesar di Indonesia. Tapi
untuk gedung perpus ini saya apresiasi banget. Malah bisa dibilang tempat
paling menyenangkan yang saya kunjungi selama di Pekanbaru (go check my IG for more information!).
Kantor Gubernur Riau |
Gedung Perpustakaan Soeman HS |
Papan Nama Perpustakaan Soeman HS |
Ornamen di Dinding Perpustakaan Soeman HS |
Ornamen di Dinding Perpustakaan Soeman HS |
Ornamen di Dinding Perpustakaan Soeman HS |
Tapi melipirlah menjauh dari jalan protokol. Sebagian sempit
dan rapat; sebagian lagi lapang berilalang. Di Pekanbaru kamu bisa melihat
pemukiman padat yang cuma dipisahkan gang senggol; persis Jakarta. Tapi di satu
bagian ada lahan luas tempat parkirnya mobil-mobil yang sepertinya bekas dan
hendak di jual.
Nyaris kumal dan lusuh. Dan seperti tanpa pemimpin-di luar
soal pembukaan lahan sawit dan penerbitan ijin pendirian mini market (kalau
soal ini sih, melihat fakta lapangan, pejabat berwenang pasti tampil di garda
depan). Sampah berserakan di jalan dan kali kotor menghitam. Ditambah cuaca
panas menyengat, lengkap sudah.
Saya sempat dibawa Abang ke Kampar. Mungkin kamu tahu sungai
berombak di Kampar? Ya, saya melihat sungai itu, tapi di bagian yang tak
menariknya. Jangan tanya soal ombak, yang ada hanya perahu lapuk yang
terabaikan. Bagian berombak masih nun jauh di sana.
Perahu Oleng |
Lalu saya juga sempat ke sebuah tempat yang nampaknya akan
dijadikan objek wisata. Saya, Abang dan keponakan naik motor membelah hutan,
tebing tergerus, lalu sampai ke danau. Indah. Cantik. Itulah mengapa saya
katakan seandainya Kepri tetap hutan.
Dan Pekanbaru punya Trans Metro Pekanbaru yang berkonsep kayak
Transjakarta tapi dengan armada yang lebih kecil, halte tak terurus dan
kondektur perempuan yang minta ongkos Rp 4.000 di dalam bus selagi busnya
jalan. Entah apa kondekturnya perempuan semua atau ada lakinya juga, tapi 2
kali pakai jasanya Trans Metro, dapat kondektur perempuan terus. Mereka ini yang
bakal kasih tiket warna kuning ke penumpang; kayak Transjakarta sebelum beralih
ke kartu flazz. Tapi di Trans Metro Pekanbaru, penumpang bayar bukan pas di halte
tapi selagi perjalanan di dalam bus. Busway citarasa kopaja nih kayaknya. Hehehe.
Jadi haltenya berfungsi buat naik turun penumpang aja. Dan seperti saya udah
tulis di atas, kondisi haltenya-beberapa-harap dimaklumin. Malah ada
pemberhentian bus yang cuma berupa tangga aja (mirip-mirip sama tangga bus
feeder busway jamannya Foke). Dan nyokap saya hampir jatoh waktu menginjakkan
kaki di tangga yang nampaknya cuma berupa seng setengah hati itu. Tangganya
goyang! Lalu beberapa halte lantainya ga pas dengan tinggi bus. Jadi penumpang
kayak naik jenjang tangga sewaktu berpindah dari bus ke haltenya.
Halte Trans Metro Pekanbaru |
Tiket |
Kabin Trans Metro Pekanbaru |
Lantai Halte Lebih Tinggi dari Lantai Bus |
Kondektur Perempuan Menagih Ongkos |
Sampai di sini, apa saya udah keterlaluan mendaftar "ga
asiknya" kota Pekanbaru?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar