Selasa, 24 Februari 2015

Yang Lapang Yang Sempit Di Pekanbaru



Sekian tahun dari sekarang, jika keadaannya begini terus, saya rasa Pekanbaru akan menyamai Jakarta. Bukan soal modernitasnya, tapi kesumpekannya. Aw aw aw!

Jadi karena abang saya sejak lama bermukim di Pekanbaru, tiap mau pulang kampung pasti via Pekanbaru. Sama aja sih sebenernya, jarak antara Bandara di Padang ke Kubang, dengan Pekanbaru ke Kubang; kurang lebih 5 jam perjalanan. Tapi ya begitulah semua ini diatur :p

Kata Mbah Google, Pekanbaru itu kota bisnis. Ya memang di sana banyak yang manggaleh (dagang). Sepanjang jalan-jalan raya ada aja yang jualan. Entah kedai makan, toko roti, foto dan macam-macam. Dan meskipun dibilangnya Riau itu negeri Melayu, nuansa Melayu nyaris tak terasa di Pekanbaru. Palingan bentuk atap yang bagian atasnya menyilang di kantor-kantor pemerintahan dan DPRD.

Coba deh tanya ke penduduk Pekanbaru, kalau mau berwisata di kota ini kemana ya? Jawabannya kemungkinan, "apa ya? Ga ada." Malahan di seluruh Riau, hampir-hampir ga ada yang "wiiihh" buat dikunjungi. Dan ga ada pula oleh-oleh khas, baik berupa makanan atau kerajinan lokal.

Terus terang, selama kurang lebih seminggu di Pekanbaru (separo sebelum ke Kubang, separo setelah dari Kubang) saya merasa rada bete. Bagian terbesar kedongkolan saya karena abang saya men-delay keberangkatan ke Kubang. Jadi ngambek deh akuh! Hehehe. Abisnya, wong warganya sendiri bilang kotanya nggak punya apa-apa kok. Jadi gimana saya yang pendatang ini excited sama Pekanbaru kalau udah dapet statement kayak gitu dari penduduknya sendiri?

Kamu mungkin tahu, secara rutin setiap tahun, media nasional akan memberitakan kepungan asap di wilayah Provinsi Riau, yang ujung-ujungnya bakal diprotes Negara Tetangga gegara ikut kebagian kabutnya. Kebakaran... atau mungkin lebih pas disebut pembakaran hutan adalah sejarah yang terus berulang di Riau. Orang-orang tamak membakar hutan untuk dialihfungsikan jadi kebun sawit. Kamu mungkin juga tahu Gubernurnya yang udah uzur tertangkap tangan oleh KPK saat menerima suap terkait urusan hutan ini.

Waktu saya lewat di Jalan Lintas Sumbar-Riau, saya dibikin terkagum-kagum dengan lebatnya hutan di kawasan yang masih Kepri. Di beberapa titik memang ada tebing kemerahan tergerus atau bukit gundul yang jadi penyebab longsor, tapi saya tetap terpana. Dan saya membayangkan andai Riau tetap hutan, tetap rawa, tetap kampung, tetap bukit... ah, betapa indahnya. Ga perlu lah sok-sok bermodern ria. Ga usah terlalu mengejar apa itu yang namanya industri. Kesejahteraan toh ga nampak di sana. Yang ada malah apes dapet pemimpin oportunis. Yang ada tiap tahun kena ISPA akibat asap.

Barangkali Pekanbaru memang niat jadi kota besar, lagi canggih. Tengoklah kantor gubernurnya yang tinggi dan megah (apa sih yang diurus sampe harus bergedung tinggi begitu?). Atau gedung yang ga kalah hip di sebelahnya, Perpustakaan Soeman HS yang katanya perpustakaan terbesar di Indonesia. Tapi untuk gedung perpus ini saya apresiasi banget. Malah bisa dibilang tempat paling menyenangkan yang saya kunjungi selama di Pekanbaru (go check my IG for more information!).

Kantor Gubernur Riau
Gedung Perpustakaan Soeman HS
Papan Nama Perpustakaan Soeman HS
Ornamen di Dinding Perpustakaan Soeman HS

Ornamen di Dinding Perpustakaan Soeman HS

Ornamen di Dinding Perpustakaan Soeman HS

Tapi melipirlah menjauh dari jalan protokol. Sebagian sempit dan rapat; sebagian lagi lapang berilalang. Di Pekanbaru kamu bisa melihat pemukiman padat yang cuma dipisahkan gang senggol; persis Jakarta. Tapi di satu bagian ada lahan luas tempat parkirnya mobil-mobil yang sepertinya bekas dan hendak di jual.

Nyaris kumal dan lusuh. Dan seperti tanpa pemimpin-di luar soal pembukaan lahan sawit dan penerbitan ijin pendirian mini market (kalau soal ini sih, melihat fakta lapangan, pejabat berwenang pasti tampil di garda depan). Sampah berserakan di jalan dan kali kotor menghitam. Ditambah cuaca panas menyengat, lengkap sudah.

Saya sempat dibawa Abang ke Kampar. Mungkin kamu tahu sungai berombak di Kampar? Ya, saya melihat sungai itu, tapi di bagian yang tak menariknya. Jangan tanya soal ombak, yang ada hanya perahu lapuk yang terabaikan. Bagian berombak masih nun jauh di sana.

Perahu Oleng

Lalu saya juga sempat ke sebuah tempat yang nampaknya akan dijadikan objek wisata. Saya, Abang dan keponakan naik motor membelah hutan, tebing tergerus, lalu sampai ke danau. Indah. Cantik. Itulah mengapa saya katakan seandainya Kepri tetap hutan.




Dan Pekanbaru punya Trans Metro Pekanbaru yang berkonsep kayak Transjakarta tapi dengan armada yang lebih kecil, halte tak terurus dan kondektur perempuan yang minta ongkos Rp 4.000 di dalam bus selagi busnya jalan. Entah apa kondekturnya perempuan semua atau ada lakinya juga, tapi 2 kali pakai jasanya Trans Metro, dapat kondektur perempuan terus. Mereka ini yang bakal kasih tiket warna kuning ke penumpang; kayak Transjakarta sebelum beralih ke kartu flazz. Tapi di Trans Metro Pekanbaru, penumpang bayar bukan pas di halte tapi selagi perjalanan di dalam bus. Busway citarasa kopaja nih kayaknya. Hehehe. Jadi haltenya berfungsi buat naik turun penumpang aja. Dan seperti saya udah tulis di atas, kondisi haltenya-beberapa-harap dimaklumin. Malah ada pemberhentian bus yang cuma berupa tangga aja (mirip-mirip sama tangga bus feeder busway jamannya Foke). Dan nyokap saya hampir jatoh waktu menginjakkan kaki di tangga yang nampaknya cuma berupa seng setengah hati itu. Tangganya goyang! Lalu beberapa halte lantainya ga pas dengan tinggi bus. Jadi penumpang kayak naik jenjang tangga sewaktu berpindah dari bus ke haltenya.

Halte Trans Metro Pekanbaru

Tiket

Kabin Trans Metro Pekanbaru

Lantai Halte Lebih Tinggi dari Lantai Bus

Kondektur Perempuan Menagih Ongkos

Sampai di sini, apa saya udah keterlaluan mendaftar "ga asiknya" kota Pekanbaru?








Tidak ada komentar:

Posting Komentar