Sesuai rencana, gue dan
temen-temen yang totalnya 10 orang, tidur menunggu pagi di bandara after
landing. Kita bobo-bobo melepas lelah di mushola luar karena mushola di areal
pengambilan bagasi dilarang sama petugas bandara. Yang mana aja bolehlah. Mata
udah sepet banget.
Dan dimulailah masing-masing
menggelar lapak. Gue juga sekalian menggelar mukena dan dompet-dompet
penyimpanan yang kebasahan gegara botol minum gue yang bocor di ransel. Sekitar
dua setengah jam gue tidur nyenyak sebelum akhirnya bangun buat sholat shubuh
dan siap-siap. Mobil elf sewaan kita udah ready jam 6 pagi sesuai kesepakatan.
Awal-awal naik mobil masih niat melek sepanjang perjalanan. Pingin liat, kayak
apa sih Bali itu? Apalagi kita juga udah sempet sarapan pula. Tapi niat tinggal
niat. Akhirnya jatuh terkapar juga di jok mobil saking ngantuknya.
Bangun-bangun udah nyampe di Ulun Danu Beratan. Horee!!!
Jadi Ulun Danu Beratan itu yang
nampang di uang lima puluh ribuan edisi lama warna biru. Sekitar setengah
sembilan pagi WITA, kita nyampe di sana. Hawanya dingin dan kabut putih
menyelimuti danau. Tiket masuk Rp 20.000/orang. Dari sini mulai kelihatan deh penduduk
lokal yang masih teguh memegang agama dan kepercayaan mereka. Ini berlaku di
wilayah mana pun Bali ya. Kemana pun kita pergi, bukan cuma sesajen, tapi
perempuan-perempuan berkebaya khas Bali yang mestinya memang sedang ritual
sembahyang, pasti selalu ada.
Ada di uang 50.000 |
Selalu ada acara adat |
Next destination adalah Bukit Campuhan, Ubud, Gianyar. Berangkat ke sini juga masih tepar euy di mobil. Ya sudahlah. Kata bapak sopirnya sih kalau beruntung kita bisa liat petani lagi nebas padinya.
Gue sempet ngeluh nggak sih pas
abis ke sini? Karena pas seorang temen gue nanya, objek wisata Bukit Campuhan
ini apa, Bli-Bli (terjemahan Bali untuk Abang-abang… hehehe) bilang ayunan yang
ngadep jurang itulah objeknya. Selain nahan pipis dan mencari-cari toilet umum,
gue sebetulnya hepi-hepi aja jalan-jalan santai di sini. Setelah mencicipi
berbagai cara jalan-jalan, gue terutama sekali suka dengan kegiatan trekking
untuk mencapai suatu tempat. Jadi meskipun capek, gue tetep hepi sih.
Gue ngebayangin mungkin di Ubud
bagian inilah Valliant Budi sempet tinggal. Suasananya desa, sejuk tapi terik.
Di sepanjang jalan ada warung-warung yang ngasih tanda sedia ‘cold coconut’. Di
sana juga banyak galeri seni; lukis, pahat. Plus banyak kafe plus spa yang
membidik konsumen bule. Di salah satu kafe, tempat akhirnya gue dan beberapa
temen cewek, berkesempatan juga ke toilet, malah ada semacem pool party
kecil-kecilan. Jadi, ada satu kafe dan bagian belakangnya ada kolam renang
gitu. Dan bule-bule pada berbikini, berjemur di pinggiran kolam sambil makan
pizza, teriring lagu Taylor Swift di latar belakang. Senang banget, emang!
Omong-omong, dari beberapa hari
kemana-mana di Bali, gue merasa di Ubud ini yang paling banyak turis asingnya.
Di sepanjang trotoar pasti terlihat wajah-wajah internasional itu lagi jalan kaki
ke sana kemari. Jalan kaki yah, kalau kita ber-10 sih naik mobil aja. Hehehe.
Kalau kata seorang om gue yang
anaknya tinggal di Bali, Ubud itu kayak Puncak-nya Bali. Ya sih, bener. Hawanya
sejuk, banyak bukit. Dan keliatan penduduknya sejahtera. Rumah-rumah di sana
hampir semuanya punya pura-pura sendiri dengan pendopo-pendopo khusus untuk
ritual agama Hindu. Dan bentuk rumah mereka itu dibatasi tembok-tembok hingga
menyerupai gerbang masuk di bagian depannya. Rumah-rumahnya sendiri masih di
belakang; di belakang pura-pura mereka. Bagus, bersih, sejuk dan nyaman—begitu
pendapat gue tentang cara penduduk setempat membangun tempat tinggal
mereka. Gue selalu suka sih sama rumah yang masih punya space untuk ‘bernapas’.
Desa Penglipuran |
Selanjutnya kita Desa Penglipuran yang konon adalah salah satu desa terbersih di dunia. Tiket masuk Rp 15.000 / orang. Pas mau masuk kedengeran kayak ada rapat adat gitu. Jadi ini desa yang dijadikan tempat wisata. Ada penduduk yang tinggal di sana. Dan emang bersih kok. Pasti dong ya, gelar desa terbersih di dunia gimana pun mesti dipertahankan. Hampir tiap rumah berdagang kecil-kecilan. Mulai dari cemilan, minuman sampai kain batik. Penduduknya bakal duduk-duduk di gerbang rumah mereka sambil menawarkan untuk mampir.
Beres ke Desa Penglipuran, kita cau lagi. Lumayan lama menuju penginapan kita di Seruni Guest House, Padang Luwih, Dalung, Bali. Biaya nginep sekitar 90 ribuan per orang, include breakfast. Kita nginep di sana dua malam. Nyampe sekitar jam 7 malem; overtime sewaan elf selama 2 jam.
Lanjut di post berikutnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar