Kamis, 25 September 2014

32 Tahun Terstruktur, Sistematis dan Masif

Hei, Pak, Bu, ya Anda semua, Anda-anda yang 3 dekade lebih hidup senang di Indonesia. Kalau Anda tahu dan telah dengan sengaja menciptakan ini semua, semoga Allah mengampuni Anda.


Lingkaran setan bernama kemiskinan.

Selama hampir 70 tahun kami masih menganggap sungai atau waduk adalah tong sampah besar.Kami tinggal di bantaran kali. Kami mendirikan bangunan di tanah negara. Kami mencuri listrik. Kami mengakali tagihan air. Kami terus menyedot air tanah, tak peduli bahwa tanah di bawah kami bisa saja ambles.

Kami membiarkan anak-anak kami menadahkan tangan di jalan. Kami biarkan mereka nongkrong di mini market untuk menutup jok motor pembeli dengan selembar kardus lantas menadahkan tangan lagi. Kami biarkan mereka bernyanyi asal bunyi di atas bis. Kami biarkan mereka menjadi kenek bus dan melihat mereka mengadopsi aksen kasar preman Pulo Gadung.

Kami tidak sanggup sekolah tinggi. Kami hanya sekolah sampai tingkat dasar. Kami pergi membabu di negeri orang. Kami jadi kuli serabutan di ibukota. Kami juga bernyanyi di atas bus. Atau bisa juga meracau sambil menyilet-nyilet lengan sendiri di atas bus.

Hei, sebenarnya kami kreatif. Panjang akal tepatnya. Makanya ada gorengan plastik, saos belatung, baso boraks, daging celeng, kue pewarna tekstil. Dan omong-omong baut di jembatan lumayan juga harga per kilonya. Usaha tambal ban kami juga lumayan. Modalnya sekilo paku saja, Pak, Bu.

Kami senang kalau ada pemilu. Itu artinya ada sembako, mi instan dan amplop yang beredar. Kata teman kami yang lebih pintar kami memang sengaja dikondisikan miskin dengan begitu kami mudah digiring untuk mencoblos partai/pihak yang menyodori kami 3 liter beras. Hei, Pak, benarkah itu? Ahh kepala kami penat. Tak sampai otak SD kami untuk berpikir setinggi itu.

Ada Undang-undang yang kata-katanya indah sekali. Di sana tertulis kekayaan alam negeri dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Hei, Pak, hei, Bu, kalau benar begitu mengapa kami masih tetap susah makan sementara Anda naik mobil mengilat? Rakyat mana yang dimaksud kata-kata indah itu?

Kami lihat di Papua banyak lubang menganga. Logam apa yang Anda ambil, hei, Pak, Bu? Harganya pasti murah sekali. Lubang begitu banyak, jual-beli berlanjut terus, tapi di sana teman kami semiskin kami pula. Hei, Pak, Bu, adakah yang kalian sembunyikan atau gelapkan?

Ada lagi kata-kata indah selanjutnya: anak terlantar dipelihara negara. Dan Anda berkampanye bahwa menjadi anak jalanan bukanlah pilihan. Tapi teman-teman kecil kami itu memang sulit diatur. Jalanan adalah hidup. Dan mungkin juga berdefinisi mati. Kalau teman kami itu tak memberi upeti kepada si Bang Tato itu artinya mati.

Kami sulit mencari nafkah. Jualan sayur tak banyak untung. Istri dan anak sering tak punya nasi. Kepala kami berat oleh beban hidup jadi kami lari ke rokok. Sebagian penghasilan untuk membeli rokok. Kami seperti kereta di mana-mana; mengepulkan asap. Di ruang publik, di transportasi umum, di tempat banyak anak-anak. Rokok membunuhmu, itu kata iklan.

Tapi kami mengerti Anda tidak bisa menutup pabrik rokok. Ironisnya negeri ini, benda yang merusak kesehatan paru-paru malah mensponsori acara olahraga.

Budaya Wani Piro

Kami berebut untuk jadi PNS. Via bawah meja saja. Pelicin bisa pinjam dulu. Santai saja. Di sana kan lahan basah. Tak berapa lama dijamin balik modal asal SK sudah di tangan. Kerja pun mudah. Datang kerja terlambat tak mengapa. Kalau ada yang butuh jasa instasi kami, oper kanan-kiri dulu. Biar keluar "pelicin"nya. Senang betul kan jadi PNS? Hei, Pak, Bu, mengertikah Anda istilah "wani piro"?
Hei, Pak, Bu, kami baru saja ditilang Pak Polisi karena belok kiri di tikungan yang terlarang. Pak Polisi lantas mengajak kami menepi. Dia berbisik-bisik. Jalan damai, ucapnya. Dua puluh ribu kami pun melayang.

Kasihan. Untuk itukah ia menjadi polisi? Kata teman kami ia itu oknum. Hei, Pak, Bu, apa yang terjadi? Kalau oknum kenapa banyak sekali? Bayaran mereka rendah sekali kah?
Jadi sekarang kami jika melihat mereka meminggirkan seorang pengendara ke tepi jalan, itu artinya mereka sedang mencari tambahan.

Hei, Pak, Bu, teman seperguruan mereka yang berbaju loreng-loreng itu juga katanya dipenuhi oknum. Mereka membekingi tempat terlarang. Persoalan wani piro, Pak, Bu. Permainan bawah meja lagi-lagi. Tahukah kalian, Pak, Bu? Mencontoh siapa mereka itu sebenarnya?

Pak, Bu, kami sedang berupaya jadi bupati. Sepertinya menyenangkan. Empat D katanya; duduk, diam, dapat, duit. Setoran mengalir dari kanan kiri. Tarik-tarik dari pengusaha nakal. Tahu sama tahu lah. Belum lagi ijin pembangunan mal dan mini market. Basah, Pak, Bu. Persetan dengan pasar tradisional.

Jalan raya wujud peradaban manusia

Pak, Bu, kami baru saja membayar uang muka cicilan mobil. Naik motor saja sudah tidak cukup. Karena di jalan raya negeri ini kendaraan yang paling besar yang paling berhak atas jalanan. Truk didahulukan dari mobil, mobil didahulukan dari motor, motor didahulukan dari pesepeda dan pejalan kaki. Kata teman kami yang lebih pintar pejalan kaki justru yang paling besar haknya menurut hukum internasional. Ahh siapa peduli? Berjalan kaki itu kere! Cerminan orang susah. Lagipula trotoar rusak total. Sudah berubah fungsi jadi tempat mangkal PKL dan lahan parkir pula. Mana nyaman?

Kami juga tidak mau naik angkutan umum. Busuk dan reyot, kalau Bapak dan Ibu mau tahu. Ahh tapi kendaraan seperti itu masih saja bisa berkeliaran. Hmm ada apa di dinas transportasi?

Kalau tidak ada mobil pribadi, minimal motor pribadi. Jalan selip-selip. Buka jalur, putar balik, ahh cincai lah. Sudah begitu bisa meramaikan jalan dengan suara klakson kami. Lampu merah pun kami klaksoni. Dan jangan kira kami mau berhenti kalau ada yang mau menyebrang. Minggir, hei, minggir!

Keahlian yang tak didukung

Hei, Pak, Bu, kami bisa membuat garam. Kami bisa menanam padi. Kami bisa memproduksi gula. Kami bisa menambah pasokan kedelai. Kami mampu beternak sapi. Tapi kalian nampaknya suka hal yang berbau "bule".

Kami tahu caranya menciptakan biogas. Kami bisa saja mengilang minyak. Kami bisa merakit atau bahkan membuat mobil. Kami pintar bahasa pemograman. Kami cerdas alami sebagai orang Indonesia. Tapi kami nihil alat dan laboratorium.

Buah simalakama

Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati.

Jalanan penuh kendaraan pribadi. Macet di mana-mana. Dealer mobil/motor dibatasi, pengangguran membludak. Tidak dibatasi, jalanan penuh.

Jangan merokok karena bisa membunuhmu. Pabrik rokok tutup, pengangguran membengkak. Event-event tak punya sponsor.

Terstruktur, Sistematis dan Masif

Hei, Pak, Bu, kesengajaan kah ini? Bagian dari konspirasi besar kah ini? Rencana terstruktur, sistematis dan masif supaya kami tetap miskin dan bodoh, kah ini? Desain agar negara ini tetap carut-marut dan para bedebah dapat terus mengeruk untung, kah ini? Atau sekedar pembiaran?

Pak, Bu, sengaja atau pembiaran, keduanya sama-sama buruk. Dan jika Bapak dan Ibu terlibat, semoga Allah SWT mengampuni Anda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar